Langsung ke konten utama

Socrates dan Daimonion-nya


Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya (Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion-nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat (Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian:

"Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun tidak pernah memberi petunjuk positif. Suara inilah yang mencegahku terlibat dalam politik. Dalam pandanganku, perlawanannya terhadapku adalah sesuatu yang baik, sebab, kalian boleh yakin, wahai orang Athena, kalau aku mencoba terlibat dalam politik (ta politika), aku haruslah (e) sudah lama mati, dan demikian menjadi tidak berguna, baik bagi kalian maupun bagi diriku sendiri".

Socrates saat membela diri dari tuduhan atheisme, di apologia, justru tampak memprovokasi para pengadilnya. Ia mengisahkan bahwa hidupnya sejak kanak-kanak adalah menjalankan "misi dari yang ilahi". Hidup Socrates mengikuti bisikan dari daimonion yang mencegahnya melakukan tindakan tertentu. Daimonion ini yang membuat Socrates menghindari politik. Socrates berbicara mengenai tanda dari yang ilahi (to tou theou semeion) atau suara daimonion (daimonion fone) yang kerap datang kepadanya sejak masa kanak-kanak yang melarangnya melakukan atau mengatakan sesuatu, namun suara itu tidak pernah mendorongnya melakukan sesuatu (apologia 31c-d, 40a-b (bdk. 24c), 41d; Euthyphron 3b). Dan mengutip beberapa penafsir lain, Ioanes Rakhmat bertanya-tanya bilamana kata daimon ini merujuk pada "bagian irasional" jiwa Socrates yang memberikan instruksi positif (sebagaimana dikemukakan oleh John Burnet), atau sebuah "kepercayaan religius" (Brickhouse dan Smith), atau sebuah suara batin yang bertindak sebagai hati nuraninya (Roslyn Weiss).

Hidup Socrates ada di bawah bayang-bayang daimonion-nya, gampangnya, semacam "malaikat pelindung". Kesaksian Platon dan Xenophon sering menunjukkan bagaimana Socrates dikenai fenomena-fenomena paranormal seperti "dihinggapi oleh malaikat lain" (Euthyphron 3b-c, Alkibiades Pertama 105d-e, Politeia 496c, Phaidros 242b-c, Theaitetos 151a), berada dalam kondisi trans (Symposion 174d-175b dan 220c-d), merasa dikunjungi "malaikat" tersebut dalam mimpi (Phaidon 60d-61a, Philebos 20b, Kriton 44b), atau merasa mendapatkan inspirasi dari para dewa (Phaidros 238c-d, Philebos 25b). Apakah dengan begitu bisa disimpulkan bahwa Socrates adalah mistikus yang sering trans dan dihinggapi daya-daya suprarasional sehingga ia lebih merupakan orang suci daripada orang bijak-berpengetahuan? Daimonion Socrates ini fenomena suprarasional atau sesuatu yang rasional belaka?

Di satu sisi, kita tidak bisa mengingkari fakta bahwa Socrates menyatakan dirinya merasa mendapatkan kekuatan yang melampaui daya manusiawi. Seperti para penyair, peramal dan para nabi, ia sadar akan keterbatasan rasio manusiawi dan menyadari adanya kekuatan supra rasional yang mendorongnya melakukan itu semua.

Pertama, dalam Apologia Socrates cukup menekankan keterbatasan "pengetahuan manusiawi":

"Tapi sebetulnya, wahai saudara-saudaraku, hanya yang ilahi (ho theos) yang sungguh-sungguh bijaksana; dan Dia mengatakan kepada kita, melalui orakulum itu, bahwa hikmat insani sedikit saja harganya atau sama sekali tidak berharga" (Apologia 23a, terj. Ioanes Rakhmat, hlm. 92).

Kedua, ada kesan kuat bahwa Socrates sendiri percaya bahwa misi yang ia emban bersifat "religius":

"Itulah sebabnya, bahkan sampai hari ini, aku masih berkelana mencari dan menyelidiki seseorang yang kupercaya bijaksana, warga kota atau orang asing, dalam ketaatanku kepada yang ilahi (ho theos). Maka, sesegera aku menemukan seseorang itu tidak berhikmat, aku melayani yang ilahi (ho theos) dengan membuktikan bahwa orang itu tidak berhikmat (sophos). Karena pekerjaan ini, aku tidak memiliki waktu luang yang pantas, (c) baik untuk mengerjakan satu pun dari hal-hal yang diberikan kota maupun hal apapun yang berkaitan dengan hal-hal kepunyaanku sendiri. Bahkan karena pelayananku kepada yang ilahi (ho theos), aku hidup dalam kemiskinan luar biasa" (Apologia 23b-c, terj. Ioanes Rakhmat, hlm. 92).

Dan ketiga, dalam mengemban misi sepanjang hidupnya itu, Socrates sering menggambarkan dirinya "dihinggapi" oleh kekuatan itu:

"Sebab, jika kalian menghukum aku, (e) kalian menganiaya karunia yang telah diberikan yang ilahi kepada kalian. Kalau kalian menghukum mati aku, kalian tidak dapat dengan mudah menemukan seorang lain yang seperti diriku. Jika boleh aku mengungkapkannya dengan suatu cara yang agak kocak, aku sesungguhnya telah betul-betul dilekatkan yang ilahi pada kota kita, seolah-olah pada seekor kuda (.....). Ya aku percaya, dalam diriku yang ilahi telah melekatkan pada kota kita suatu mahluk semacam itu, (31a) mahluk yang terus menerus hinggap pada diri kalian di segala tempat, di sepanjang hari, membangunkan, membujuk, atau mencela masing-masing dan setiap kalian (.....) Bahwa aku sesungguhnya adalah sejenis karunia yang diberikan yang ilahi kepada kota kita, dapat kalian kenali dari kemyataan ini: (b) bagiku, tampaknya bukanlah suatu sifat insani belaka jika aku bisa menelantarkan urusanku sendiri, dan dapat tahan mengabaikan keluargaku sepanjang tahun-tahun berselang; tetapi terus-menerus memperhatikan kepentingan kalian, (....)" (Apologia 30e-31a-b, terj. Ioanes Rakhmat, hlm. 108-109).

Bila melihat pernyataan-pernyataan Socrates sebagaimana dilaporkan oleh Platon dalam bukunya Apologia, maka tampaknya daimonion ini tidak bisa ditafsir secara rasional sebagai "manifestasi ketaksadaran" atau "perintah suara batin". Henry Bergson dengan tegas mengatakan bahwa Socrates benar-benar percaya pada suara dari daimonion-nya ini. Misi yang ia emban adalah misi religius dan mistik dalam arti yang kita pahami saat ini, artinya, seluruh ajaran Socrates yang rasional sebenarnya tergantung pada sesuatu yang suprarasional (suara daimonion ini).

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat