Langsung ke konten utama

KEKERASAN DALAM SEJARAH AGAMA SEMITIK




Oleh: Taufik Hidayat

Dalam sejarah agama Semitik Yahudi, Kristen, Islam, sering sekali diwarnai oleh kekerasan meskipun dalam kitab suci agama semitik tersebut lebih condong mengajarkan perdamaian, nilai-nilai kemanusiaan, dan kebaikan. Misalkan dalam Alkitab Ibrani yang sering dikenal dengan “Bereishit” atau kitab Kejadian. Di dalam kitab Kejadian yang dipercayai oleh komunitas iman (Yahudi, Kristen) misalnya, kitab ini diawali dengan penciptaan Tuhan seperti halnya alam raya dan manusia. Akan tetapi manusia pertama Adam dan Hawa gagal dalam mewujudkan harapan Tuhan sehingga mereka dijatuhkan hukuman. Kisah kejatuhan Adam dan Hawa terus diikuti oleh drama pertumpahan darah yang melibatkan dua orang bersaudara: Kain dan Habel. Inilah kekerasan pertama yang terjadi dalam sejarah agama semitik. Kisah kekerasan dua bersaudara ini banyak memunculkan suatu pertanyaan, mengapa Tuhan menerima persembahan Habel dan menolak persembahan Kain?

Menurut Mun’im Sirry dalam bukunya Islam Revisionis hal. 130 mengatakan bahwa kisah ini seolah membenarkan teori yang menyebutkan perbedaan kepentingan memang akan berakhir pada bentuk-bentuk kekerasan. Pembunuhan Habel memang dilaknat, tetapi menurut beliau kisah ini cukup mengganggu pembaca modern karena Kain diceritakan berhasil membangun sebuah kota yang melambangkan awal mula peradaban manusia. Artinya, peradaban pertama dibangun oleh seorang pembunuh.

Merujuk kembali kepada Alkitab, terkadang kisah dalam Alkitab terkait kekerasan bukan semata-mata karena keinginan manusia, akan tetapi terkadang kekerasan terjadi karena ada peran Tuhan di dalamnya. Bisa dilihat dalam kisah banjir Nuh maupun kisah-kisah sebelum dan sesudah Eksodus yang dipimpin oleh Musa. Kalau kita lihat kisah Musa dalam kacamata korban, bukankah yang menjadi korban adalah mereka yang tidak berdosa seperti anak-anak? Inilah sekilas terkait kekerasan yang terjadi dalam sejarah agama yang tertuang dalam Alkitab Yahudi dan Kristen.

Selanjutnya dalam Islam sendiri kekerasan juga sering terjadi. Banyak kisah-kisah yang dituliskan dalam Alquran terkait kekerasan tersebut meskipun dalam setiap surah dimulai dengan frasa “Dengan nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang.” Akan tetapi jika kita lihat, hampir setiap surah dalam Al-Quran juga menyuguhkan gambaran bagaimana Tuhan yang mengancam manusia dengan siksaan yang pedih yang memang jauh dari kesan “maha pengasih dan maha penyayang.”

Selanjutnya jika kita melihat ayat-ayat lain dalam Al-Quran yang menyuguhkan kekerasan misalnya terkait hukuman bagi para pendosa, hukuman cambuk bagi para pezina, potong tangan, hingga kekerasan yang boleh dilakukan disaat umat Islam mengalami pendzaliman, belum lagi menyangkut perlakuan terhadap orang kafir hingga peperangan-peperangan yang terjadi dimasa Muhammad sampai para sahabat.

Belum lagi jika kita melihat kisah yang melanda tiga dari empat khalifah Rasyidin yang menjadi korban kekerasan sesama muslim: Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Mereka semua dibunuh secara tragis ditangan umat Islam sendiri yang semestinya menebarkan pesan-pesan perdamaian. Belum lagi serangkaian perang yang terjadi dan muncul yang dilakukan oleh umat Muslim awal akibat perpecahan internal diantara mereka, misalnya seperti perang Shiffin, perang Jamal, dan lain sebagainnya.

Kekerasan dalam agama Semitik tidak hanya sampai disitu, tetapi kekerasan tersebut terus berlanjut hingga saat ini. Hampir semua komunitas iman tidak pernah lepas dari kekerasan yang kadang kala mengatasnamakan agama. Agama dijadikan patokan untuk saling serang antar umat beragama. Yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan agama hanya sebuah kekeliruan setiap pemeluk agama dalam menafsirkan kitab sucinya dengan cara yang radikal yang tidak sesuai dengan konteksnya. Contoh hal ini sangat nampak jelas di ingatan kita, misalnya, kekerasan yang dilakukan umat Yahudi terhadap warna Palestina yang hingga saat ini tak kunjung usai, kekerasan yang terjadi di Aceh beberapa waktu lalu yang mengatasnamakan agama, pada waktu itu ada seorang perempuan yang di hukum cambuk karena telah diperkosa oleh laki-laki tak dikenal. Bayangkan, perempuan itu sudah mengalami kekerasan seksual, tetapi dia masih dihukum cambuk karena masuk dalam ranah perzinahan sehingga dalil yang dipakai untuk hukuman itu memakai ayat suci dengan menegakkan syariat Islam.

Banyak lagi kekerasan-kekerasan yang mengatasnamakan agama sebagai dasar dan landasan untuk tindakan tersebut. Baik kekerasan yang dilakukan Yahudi, Kristen, maupun Islam sendiri hingga saat ini.

Pertanyaan yang perlu direnungkan adalah, mengapa sejarah agama-agama harus menimbulkan korban jiwa akibat perbedaan-perbedaan ataupun hal lain seperti kisah diatas?

Mungkin kita perlu kembali kepada kitab suci yang lebih condong mengajarkan kasih sayang dan perdamaian supaya kita yang memiliki kesadaran dengan hal itu paling tidak bisa membawa suatu perubahan pemahaman kepada setiap pemeluk agama. Jangan lagi kekerasan terjadi karena hanya saling merasa benar, memang setiap pemeluk agama memiliki keyakinan akan kebenaran itu, tetapi bukan berarti kita melakukan kekerasan karena merasa kita berada dipihak yang benar. Salah satu contoh misalnya, kita menuduh orang lain berada di pihak yang salah, sedangkan dia secara konsisten selalu berada di jalan kebenaran, sebaliknya, kita kadang merasa berada di pihak yang benar, sedangkan cara-cara yang kita tempuh secara jelas dan nyata terbukti merupakan kesalahan dan kekeliruan.

Menurut Prof. Masdar Hilmy, Ph.D dalam pengantar buku Aksin Wijaya: Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia, Menjawab pertanyaan diatas menjadi relevan kiranya jika kita merefleksikan asumsi teoretik yang dikembangkan oleh J. Harold Ellens (2007) bahwa setiap kekerasan yang berlatar agama dapat dilacak pada unsur destruktif yang dimiliki oleh hampir setiap agama. Menurut Masdar, J. Harold Ellens mengatakan bahwa komunitas beragama selalu terjatuh pada pandangan kosmologis Manikean yang membelah realitas menjadi dua kutub yang saling berhadapan: realitas kebenaran versus realitas kebatilan. Kerangka pikir semacam ini menurut J. Harold Ellens berakar pada kredo agama-agama Samawi yang membelah realitas manusia hanya pada dua kutub yang saling berlawanan: benar-salah, putih-hitam, terang-gelap, suci-kotor, dan semacamnya. Akibatnya, kesadaran kosmologis setiap penganut agama dipenuhi oleh imajinasi untuk meneguhkan dirinya sendiri dan meluruskan atau bahkan menghabisi pihak lain yang diposisikan sebagai musuhnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socrates dan Daimonion-nya

Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya ( Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion -nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat ( Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian: "Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat