Oleh:Taufik Hidayat
Nietzsche, ya, dia adalah salah satu filsuf yang cukup kontroversi pada zamannya. Kenapa? Karena dia pernah mendeklarasikan bahwa Tuhan telah mati, sehingga dia dijuluki "Pembuhun Tuhan". Lontaran dia tentang Tuhan telah mati inilah yang membuat dia menjadi salah satu filsuf yang menarik untuk diperbincangkan hingga saat ini. Selain itu, semua tau bahwa dia juga seorang Atheis yang percaya bahwa Tuhan tidak ada, ini mungkin yang bisa dikatakan dengan sebutan "kepercayaan kepada ketidakpercayaan". Tapi selain kontroversi diatas, ada hal menarik yang perlu dipahami dalam filsafat Nietzsche ini yang menjadi salah satu pokok penting dari filsafatnya, yaitu Keulangkembalian abadi dari yang sama (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Tetapi sebelum masuk dalam pemikirsn filsafat ini, terlebih dahulu saya akan sedikit memaparkan latar belakang Nietzsche, baik dalam segi keluarga maupun pendidikannya.
Friedrich Wilhelm Nietzsche adalah nama lengkap dari Nietzsche. Dia lahir di Roken pada tanggal 15 Oktober 1844, anak dari Karl Ludwig dan Franziska Oehler. Ayahnya adalah pendeta Lutheran di kota Roken, kakek dan kakek buyut Nietzsche dari pihak ibu semuanya berprofesi sebagai pendeta. Nietzsche juga memiliki adik perempuan bernama Elizabeth yang nantinya akan memiliki peran penting untuk karya-karya Nietzsche yang diterbitkan setelah kematiannya. Pada usia 20 tahun, Nietzsche mendaftarkan diri ke fakultas teologi dan fakultas filologi klasik di Universitas di Bonn. Tetapi dia hanya bertahan selama selama satu tahun di Bonn (1864-865), akan tetapi dia sempat kenal dengan David Strauss seorang Exeget (ahli kitab suci) liberal. Mulai tahun 1865 sampai 1869 Nietzsche pindah ke Universitas di Leipzig karena dia mengikuti profesor filologinya yang bernama Friedrich Ritschl. Bersama profesornya Nietzsche mendirikan sebuah Asosiasi Filologis. Dan dia mulai menerbitkan beberapa karya filologisnya untuk Rheinisches Museum. Dua sumber utama yang dikerjakan Nietzsche adalah Diogenes Laertios dan Theognis dari Megara. Di Leipzig pula, pada tahun 1865, Nietzsche bertemu secara kebetulan dengan karya Schopenhauer Die Welt als Wille und Vorstellung (Dunia sebagai Kehendak dan Representasi, kemudian buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1818. Schopenhauer sendiri meninggal tahun 1860). Penemuan kebetulan ini terbukti sangat penting dalam membelokkan arah hidup Nietzsche dari filologi ke filsafat. Sekaligus, pada tahun ini pula kemungkinan besar Nietzsche tertular penyakit sifilis. Penyakit yang menjadi keambrukan Nietzsche di tahun 1889 di kota Torino, Italia. Itulah sekilas riwayat seorang Nietzsche, baik dalam keluarganya ataupun pendidikannya.
Apa yang menjadi maksud dari keulangkembalian abadi dari yang sama ((Die ewige Winderkehr des Gleichen)?
Setyo Wibowo dalam bukunya "Gaya Filsafat Nietzsche" menerjemahkan keulangkembalian abadi dari yang sama ini menjadi kekembalian yang sama secara abadi. Dari ajaran Nietzsche tentang keulangkembalian abadi dari yang sama ini, Nietzsche sebenarnya menantang optimisme murahan zaman modern yang yakin dan percaya bahwa mereka pasti akan meraih apa yang diharapkan dan direncanakan serta memperoleh pembebasan, pencerahan, dan rasionalitas yang mereka cita-citakan. Optimisme murahan ini ternyata tidak terbukti. Manusia terjungkir kembali dalam apa yang hendak dijauhi dan disingkirkannya. Dalam hal ini, sebenarnya Nietzsche bukan hanya pendahulu dari pemikiran post modernisme, tetapi dia juga peramal yang ramalannya ini dengan tepat telah menjadi kenyataan.
Ajaran Nietzsche tentang keulangkembalian abadi dari yang sama ini sebenarnya sebuah seni yang kreatif yang selalu menghasilkan sesuatu yang baru, bukan semacam metafisika nasib yang mengajarkan tentang predestinasi hidup yang tidak dapat dibantah. Nietzsche mencoba terus mencari dan mengungkap bahwa kreatifitas hidup itu sanggup memberikan sebuah makna yang menjadikan sebuah pembebasan perubahan baru dari realitas yang ada. Pada akhirnya pergulatan ini membawa Nietzsche untuk memahami dunia dan memaknainya dengan segala aspek yang ada padanya. Sehingga dia berfikir bahwa dunia ini bagaikan monster yang menakutkan, tanpa awal dan tanpa akhir. Namun, dunia juga sesuatu yang sangat indah yang harus kita nikmati. Kotradiksi dunia ini yang kemudian membuat Nietzsche menggambarkannya bahwa dunia ini adalah wanita, seperti yang pernah Nietzsche tulis dalam teks-teks tulisannya:
"Aku hanya hendak mengatakan bahwa dunia itu penuh dengan hal-hal indah, tetapi juga hal-hal yang tak kurang tidak indahnya. Dunia ini sangat miskin, miskin saat yang indah, miskin pewahyuan yang indah seperti di atas. Tetapi, mungkin justru itulah yang membuat hidup mempunyai daya tarik yang sangat kuat. Hidup ini ditutupi oleh selubung emas, artinya, diselubungi oleh berbagai kemungkinan indah yang memberinya garis tubuh menjanjikan, penuh keraguan, sopan, ironis, membangkitkan welas asih, dan menggoda. Iya, hidup adalah wanita! (Ja, das Leben ist ein Weib!)" (hal. 165).
Pendirian ini kemudian menghasilkan ungkapan yang terkenal Nietzsche: Amor Fati yang artinya, kita tidak hanya harus menanggung apa yang tidak dapat diubah, kita bahkan harus mencintainnya. Tidak menyerah pada nasib, tetapi menanggungnya, adalah suatu sikap yang luhur. Namun lebih luhur lagi, bila kita tidak hanya mau menanggung, melainkan juga mencintainya. "Amor Fati, semoga inilah cintaku!," kata Nietzsche.
Dari ajaran Nietzsche ini sebenarnya banyak mengandung nilai-nilai positif yang bisa diambil, kenapa begitu? Karena melalui ajaran tentang keulangkembalian abadi dari yang sama ini, kita diajak untuk tidak selalu optimis, yakin, dan percaya dari segala hal yang ingin kita raih khususnya hal-hal baik yang selalu kita dambakan. Seperti halnya pembebasan, pencerahan, rasionalitas yang selalu kita cita-citakan. Sebalinya, kita kadang menolak sebuah nasib buruk yang kadang menimpa hidup kita. Oleh sebab itu Nietzsche secara tegas menantang optimisme murahan itu. Dia mengajak kita untuk bisa menerima segala hal yang terjadi dalam hidup kita. Dia mengajak kita bukan hanya sebatas bagaimana kita bisa menanggung yang tidak dapat diubah seperti takdir, tapi bagaimana kita juga bisa mencintainnya, tidak menyerah dengan nasib, tetapi kita juga bisa menanggung dan mencintainnya.
Secara tidak langsung, Nietzsche telah membawa kita kepada tingkat kesadaran yang sering dilalainkan manusia. Mungkin ini yang menjadikan Nietzsche seorang seniman yang kreatif yang selalu merefleksikan sesuatu yang terus ia dapatkan sehingga memunculkan sebuah nuansa-nuansa yang membuat manusia tidak hanya cukup menyerah kepada forma yang telah ada dan diraihnya, tetapi manusia juga harus bisa menanggung dan mencintannya.
Dari ajaran Nietzsche ini, menurut Setyo Wibowo, kita tidak bisa langsung memojokkan dia di satu sudut manapun seperti Nietzsche telah membunuh Tuhan, tapi kita harus lebih hati-hati menggelari dia sebagai "pembunuh Tuhan". Seluruh keresahan filsafatnya ini justru bisa membantu kita untuk memurnikan Tuhan dari kekerdilan anggapan kita tentang-Nya, dan dengan demikian menahtahkan-Nya diatas kekerdilan kita.
Memang dia melakukan refleksi filsafat Atheis. Namun kita juga harus hati-hati untuk menyudutkannya sebagai seorang atheis. Justru dengan filsafatnya, ia memperolok mereka yang merasa telah mencapai pencerahan dengan jalan Atheisme mereka. Atheisme Nietzsche malah bisa menuntun kita untuk melihat apa yang seharusnya paling mistik dalam relasi kita dengan Tuhan. Dalam hal ini, Nietzsche yang a-religius itu sesungguhnya adalah orang yang sangat religius.
Setyo Wibowo juga mengatakan bahwa memang tidak mudah memahami Nietzsche. Tetapi ada cara termudah untuk memahami Nietzsche ini, yakni bagaimana kita bisa belajar dari pengalaman personal kita atau menjadi diri sendiri atau bisa juga seperti ungkapan pendirian tertua filsafat Yunani tentang Gnothi Seauton (kenalilah dirimu sendiri).
Dalam tulisan berikutnya, saya akan membahas dan memaparkan tentang Gnothi Seauton ini. Bukan untuk memahami Nietzsche, melainkan memahami kita sendiri yang nantinya menjadi subjek dalam memahami filsafatnya.
Rujukan:
1. Euvres F. Nietzsche, Paris: Flammarion, 2000
2. C. P. Janz, edisi Prancis jilid 3: Nietzsche, Biographie, Paris: Gallimard, 1984-1985
3. "Nietzsche", Magazine Litteraire Hors-Serie No. 3. 4 Trimester, 2001
4. "Nietzsche contre le nihilisme", Magazine Litteraire No. 383, Janvier 2000
5. Nietzsche: Opere 2870/1881, Roma: Grandi Tascabili Economici, 1993
6. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta, 2017
miiiip mantaaaaap.... Ditunggu tokoh tokoh lainny
BalasHapus