Langsung ke konten utama

Kontroversi Pengorbanan Anak Ibrahim


Oleh: Taufik Hidayat

Hari ini kita sudah masuk dalam puncak hari Penyembelihan (yaum an-nahr) atau dikenal dengan Idul Adha.Hari Penyembelihan memiliki keterkaitan sejarah yang cukup membumi, menjadi ritual seluruh umat manusia sejak zaman agama pagan yang mempersembahkan atau mengurbankan hewan demi sesembahannya yang diyakininya.

Hari Raya Idul Adha kerapkali menyisakan pertanyaan mendasar tentang siapa yang menjadi sosok yang paling benar dikurbankan. Apakah Ismail sebagaimana yang diakui oleh umat Islam atau Ishak yang diakui oleh umat Nasrani dan Yahudi?
Pertanyaan seperti ini sering kali diperdebatkan dikarenakan posisinya sangat penting untuk diakui sebagai sumber keteladanan pengorbanan. Setidaknya ketika seseorang hendak berkurban melalui hewan, pasti yang ada terngiang dalam imajinasinya untuk meneladani spirit pengorbanan yang dilakukan Ibrahim.
Sebenarnya kalau kita lihat dalam Al-Quran sesungguhnya tidak menyebut secara eksplisit identitas anak yang dikorbankan oleh Ibrahim, apakah itu Ismail atau Ishak. Memang para mufassir modern berasumsi bahwa yang dikorbankan oleh Ibrahim adalah Ismail meskipun sumber-sumber tafsir awal mengindikasikan adanya perbedaan pendapat soal anak yang dikorbankan tersebut.

Jika dilihat dari sumber-sumber Yahudi dan Kristen seperti yang tertuang dalam kitab Torah/Taurat di Kejadian pasal 22 ayat 2, disana dijelaskan secara eksplisit bahwa anak yang dikorbankan oleh Ibrahim adalah Ishak yang sudah secara detail dikomentari dalam sumber-sumber Yahudi seperti Talmud.

Berbeda dengan Torah/Taurat, Al-Quran tidak menyuguhkan kisah Ibrahim dengan anak yang dikorbankannya tersebut secara detail sehingga memunculkan beragam tafsir khususnya di kalangan Muslim awal yang lebih cenderung merujuk kepada Ishak sebagai anak yang dikorbankan Ibrahim bukan Ismail. Salah satu contoh Mufassir awal Muqatil b. Sulaiman (w. 150/767) yang secara tegas dan jelas menyebutkan bahwa Ishak lah anak yang dikorbankan tersebut.

Menurut Mun’im Sirry dalam bukunya Islam Revisionis hal. 110, bahwa hingga abad kesepuluh (atau keempat Hijriyah) jumlah riwayat yang pro-Ishak dan pro-Ismail masih berimbang. Beliau memberikan contoh dalam tafsir al-Tabari (w. 310/923), yang merekam beragam pendapat ulama terdahulu. Dalam magnum opusnya, Jami’ al-Bayan fi Ta-wil Ay al-Qur’an, Tabari mencatat 17 riwayat yang mengidentifikasi Ishak sebagai korban. Dari sekian riwayat tersebut, misalnya, terdapat pernyataan para Sahabat dan Tabi’in yang menyebut “al-dzabih huwa Ishaq” (yang disembelih ialah Ishak). Tetapi disisi lain Mun’im Sirry menyebutkan bahwa Tabari juga menyebutkan ada 24 riwayat yang pro-Ismail, termasuk yang dinisbatkan pada Nabi Muhammad. Yang menarik menurut beliau ialah Tabari sendiri memilih pendapat yang mengakui Ishak sebagai korban. Ia memulai pendapatnya dengan kalimat “awla al-qaulain bi al-shawab” (pendapat yang paling mendekati kebenaran di antara keduanya). Pertimbangan Tabari semata didasarkan pada makna tekstual dari Al-Qur’an (‘ala dhahir al-tanzil). Baru pada masa Ibnu Taimiyah (w. 726/1328) dan dikukuhkan oleh muridnya Ibnu Katsir (w. 774/1373), pada abad keempat-belas, identifikasi korban sebagai Ismail mendapat pengakuan luas dan diakui hingga sekarang oleh kaum Muslim. Kemudian di tangan Ibnu Katsir pandangan pro-Ismail dipromosikan sebagai paham ortodoksi. Pendapat yang berbeda dituduh “kidzb wa buhtan” (bohong dan dusta).

Terlepas dari perbedaan-perbedaan tafsir dikalangan Islam sendiri, kedua sosok anak Ibrahim ini tetap merupakan figur yang penting. Dalam agama Yahudi dan Kristen, sosok Ishak merupakan sebuah figur penting yang darinya lahir nabi-nabi dan sampai dia diagungkan melebihi saudara-saudaranya seperti Ismail dan anak-anak dari Ketura yang merupakan istri ketiga dari Ibrahim yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Sebaliknya, dari pihak Islam lebih menonjolkan sosok Ismail yang dijadikan sebuah figur meskipun keberadaan Ismail di dalam Al-Quran tidak terlalu signifikan terkecuali bahwa Ismail adalah satu-satunya anak yang membantu Ibrahim membangun Ka’bah.

Biarlah kita tidak terus memperdebatkan siapa anak yang dikorbankan Ibrahim, tetapi akan lebih baik jika kita lebih memahami dari sisi religius nya dimana iman Ibrahim yang di uji oleh Allah untuk menyerahkan anak yang dikasihinya.
Marilah kita menyongsong dan terus menteladani iman Ibrahim yang darinya semua agama dilahirkan.

Bondowoso, 22 agustus 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socrates dan Daimonion-nya

Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya ( Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion -nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat ( Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian: "Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat