Langsung ke konten utama

Modernisasi Pendidikan Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman Bag 6




Latar Belakang Modernisasi Pendidikan Islam
       Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang. Pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab dimana Islam lahir dan pertama kali berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan usaha-usaha pendidikan merupakan transformasi besar. Sebab, Masyarakat Arab pra-Islam pada dasarnya tidak mempunyai sistem pendidikan formal (Charles Michael Stanto, 1994: 18).
       Pada masa awal perkembangan Islam tentu saja pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara. Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan umumnya bersifat informal dan ini pun lebih berkaitan dengan upaya-upaya dakwah Islamiyah, penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan dalam ibadah Islam. Dalam kaitan itulah bisa dipahami kenapa proses pendidikan Islam pertama kali berlangsung di rumah sahabat tertentu; yang paling terkenal adalah sahabat Arqam. Tetapi ketika masyarakat Islam sudah terbentuk, maka pendidikan diselenggarakan di masjid. Proses pendidikan pada kedua tempat ini dilakukan dalam halaqah, lingkaran belajar (Samsul Nizar, 2007: 111).
       Proses transformasi dari masjid ke madrasah, berkembang beberapa teori yang secara sepintas berbeda satu sama lain. Di antaranya teori yang dikemukakan George Makdisi dalam Maksum, ia berkesimpulan bahwa perpindahan lembaga pendidikan Islam dari masjid ke madrasah terjadi secara tidak langsung, tetapi melalui tahapan perantara, yaitu masjid khan (Maksum, 1999: 56). Dalam kajiannya yang lebih fokus pada madrasah Nizhāmiyyah periode pertengahan di Baghdad, Makdisi mengajukan teori bahwa asal muasal pertumbuhan madrasah merupakan hasil tiga tahap: tahap masjid, tahap masjid-khan, dan tahap madrasah (Maksum, 1999: 57). Tahap masjid berlangsung terutama pada abad-abad kedelapan dan kesembilan. Masjid yang dimaksud disini adalah masjid yang disamping tempat untuk sholat berjama’ah dan majlis taklim (Pendidikan). Di Baghdad pada masa itu terdapat beribu-ribu masjid yang berfungsi sebagai tempat pendidikan. Tahap kedua adalah lembaga masjid khan, yaitu masjid yang dilengkapi dengan bangunan khan (asrama, pemondokan) yang masih bergandengan dengan masjid. Masjid khan menyediakan tempat penginapan yang cukup representatif bagi para pelajar yang datang dari berbagai kota. Tahap ini mencapai perkembangan pesat pada abad ke-10. Setelah dua tahap itu berjalan barulah muncul madrasah yang khusus diperuntukkan sebagai lembaga pendidikan. Perkembangan madrasah dalam polanya yang utuh dan konkrit dipelopori oleh Nizhām al-Mulk.
       Madrasah mulai didirikan dan berkembang pada abad ke-5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M. Pada masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan dengan berbagai macam mazhab atau pemikirannya. Pembagian bidang ilmu pengetahuan tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur‘an dan hadis, seperti ilmu-ilmu Al-Qur‘an, hadits, fikih, ilmu kalam, maupun ilmu tasawwuf tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan.
       Aliran-aliran yang timbul akibat perkembangan tersebut saling berebutan pengaruh di kalangan umat Islam, dan berusaha mengembangkan aliran dan mazhabnya masing-masing. Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pikiran, mazhab, atau aliran. Itulah sebabnya sebagian besar madrasah didirikan pada masa itu dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang masyhur pada masanya, misalnya madrasah Syafi‘iyah, Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah. Penggunaan istilah madrasah, sebagai lembaga pendidikan Islam maupun sebagai aliran atau mazhab bukanlah sejak awal perkembangan Islam, tetapi muncul setelah Islam berkembang luas dan telah menerima pengaruh dari luar, sehingga terjadilah perkembangan berbagai macam bidang ilmu pengetahuan dengan berbagai macam aliran dan mazhabnya.
       Selain kemajuan intelektual Islam, lembaga pendidikan Islam pun mengalami perkembangan pesat setelah terjadinya kontak dengan Helenisme. Lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti kuttāb, masjid, khalaqah dan majlis (pada tempat-tempat tertentu, seperti di rumah ulama), mengalami perubahan karaskteristik, bahkan muncul bentuk lembaga pendidikan baru, yang menimbulkan dualisme lembaga pendidikan Islam, yaitu ada lembaga pendidikan Islam yang terbuka pada  pengetahuan umum dan ada yang khusus mengajarkan pengetahuan agama. Menurut Charles Michail Stanton dalam Hanun Asrohah bahwa lembaga pendidikan Islam di masa klasik ada dua macam, yaitu lembaga pendidikan Islam formal dan informal (Maksum, 1999: 53). Kriteria yang digunakan untuk membedakan kedua bentuk lembaga tersebut adalah hubungan lembaga pendidikan dengan negara yang berbentuk teokrasi. Lembaga pendidikan formal adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh negara untuk mempersiapkan pemuda-pemuda Islam agar menguasai pengetahuan agama dan berperan dalam agama, atau menjadi tenaga birokrasi, atau pegawai pemerintahan. Pengelolaan administrasinya ditangani oleh penguasa. Kurikululumnya tentang ilmu agama atau ilmu naqliyah. Sedangkan lembaga pendidikan informal menawarkan pelajaran-pelajaran pengetahuan umum, termasuk filsafat. Dari kajian tentang pertumbuhan dan perkembangan madrasah Nizhāmiyyah dapat ditemukan tiga tujuan utamanya: pertama, menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran Syi‘ah; kedua, menyediakan guru-guru Sunni yang cakap untuk mengajarkan mazhab Sunni dan menyebarkannya ke tempat-tempat lain; ketiga, membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantornya, khususnya di bidang peradilan dan manajemen. Mulai abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi umat Islam. Abad inilah daerah-daerah Islam meluas di barat melalui Afrika Utara sampai Spanyol, di Timur Melalui Pesia sampai India.
       Daerah-daerah ini kepada kekuasaan kholifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus, dan terakhir di Bagdad. Abad ini lahir para pemikir dan ulama besar seperti; Maliki, Syafi‘i, Hanafi, dan Hambali. Dengan lahirnya pemikiran para ulama besar itu, maka ilmu pengetahuan lahir dan berkembang dengan pesat sampai ke puncaknya, baik dalam bidang agama, non agama maupun dalam bidang kebudayaan lainnya.  Memasuki benua Eropa melalui Spanyol dan Sisilia, dan inilah yang menjadi dasar dari ilmu pengetahuan yang menguasai alam pikiran orang barat (Eropa) pada abad selanjutnya. Di pandang dari segi sejarah kebudayaan, maka maka tugas memelihara dan menyebarkan ilmu pengetahuan itu tidaklah kecil nilainya dibanding dengan mencipta ilmu pengetahuan. Di antara yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah: (Harun Nasution, 2003: 3)
       Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap orang-orang yang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran.
       Kedua, sifat jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha, umat Islam maju di zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan, oleh karena itu selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad, tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan.
       Ketiga, umat Islam selalu berpecah belah, maka umat Islam tidaklah akan mengalami kemajuan. Umat Islam maju karena adanya persatuan dan kesatuan, karena adanya persaudaran yang diikat oleh tali ajaran Islam. Maka untuk mempersatukan kembali umat Islam bangkitlah suatu gerakan pembaharuan.
       Keempat, hasil dari kontak yang terjadi antara dunia Islam dengan Barat. Dengan adanya kontak ini umat Islam sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat, terutama sekali ketika terjadinya peperangan antara kerajaan Usmani dengan Negara-negara Eropa, yang biasanya tentara kerajaan Usmani selalu memperoleh kemenangan dalam peperangan, akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan di tangan Barat, hal ini membuat pembesar-pembesar Usmani untuk menyelidiki rahasia kekuatan militer Eropa yang baru muncul. Menurut mereka rahasianya terletak pada kekuatan militer modern yang dimiliki Eropa, sehingga pembaharuan dipusatkan di dalam lapangan militer, namun pembaharuan di bidang lain disertakan pula. Pembaharuan dalam Islam berbeda dengan renaisans Barat. Kalau renaisans Barat muncul dengan menyingkirkan agama, maka pembaharuan dalam Islam adalah sebaliknya, yaitu untuk memperkuat prinsip dan ajaran-ajaran Islam kepada pemeluknya, memperbaharui dan menghidupkan kembali prinsip-prinsip Islam yang dilalaikan umatnya (Harun Nasution, 2003: 6)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socrates dan Daimonion-nya

Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya ( Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion -nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat ( Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian: "Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat