Langsung ke konten utama

Modernisasi Pendidikan Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Bagian 2)


Oleh: Taufik Hidayat 

1. Pengertian Pendidikan Islam

Secara terminologis term pendidikan mengusung pengertian yang bervariasi, tergantung pada latar belakang rumusannya. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003: 37).

Rumusan nasional tentang istilah “Pendidikan’ adalah sebagai berikut: “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan dating” (UU R.I. No. 2 tahun 1989, Bab I, Pasal 1). Pada rumusan ini terkandung empat hal yang perlu digarisbawahi dan mendapat penjelasan lebih lanjut. Dengan “usaha sadar” dimaksudkan, bahwa pendidikan diselenggarakan berdasarkan rencana yang matang, mantap, jelas, lengkap, menyeluruh, berdasarkan pemikiran rasional-objektif. Pendidikan tidak diselengarakan secara tak sengaja, atau bersifat incidental dan seenaknya, atau berdasarkan mimpi di siang bolong dan penuh fantastis (Oemar Hamalik, 2013: 2).

Pengertian lainnya yang lebih bersifat sederhana dan umum adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Ahmad D. Marimba, 1980: 19). Sedangkan Muzayyin Arifin mendefinisikan pendidikan sebagai suatu usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia; aspek rohaniah dan jasmaniah, juga harus berlangsung secara bertahap (2010: 12). Selanjutnya, term pendidikan didefinisikan juga secara singkat oleh Ahmad Tafsir sebagai bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal (2005: 27).

Adapun pengertian pendidikan menurut A. Susanto adalah suatu proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang (peserta didik) dalam usaha mendewasakan manusia (peserta didik) melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik (2015: 3).

Dari segi etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “Paedagogie” yang terdiri dari kata “PAIS”, artinya anak, dan “AGAIN” diterjemahkan membimbing, jadi paedagogie yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak (H. Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 2003: 69).

Dari berbagai definisi di atas, ada yang redaksinya tampak panjang dan ada juga yang tampak pendek saja. Walaupun begitu, berbagai definisi di atas memiliki sedikit atau banyak kesamaan unsur-unsur antara satu dengan lainnya, hanya saja di antara mereka ada yang mengungkapkannya secara terinci dan ada juga yang bersifat umum saja. Dalam dunia pendidikan dikenal adanya tiga istilah yang sering digunakan untuk menunjuk pendidikan Islam secara keseluruhan yang terdapat dalam konotasi istilah al-Tarbiyat, al-Ta’lim, dan al-Ta’dib (Jalaluddin, 2003: 72), yang dipakai secara bersamaan. Dalam penggunaannya terdapat perbedaan di antara para pakar, misalnya, Abdurrahman Al-Nahlawi, seperti yang dikutip Ahmad Tafsir; Ia merupakan pakar yang menyepadankan kata tarbiyyah dengan pendidikan (Ahmad Tafsir, 2005: 29). Dari segi bahasa, menurut pendapatnya, kata al-tarbiyyah berasal dari tiga kata, yaitu: pertama, kata raba-yarbu yang berarti bertambah, bertumbuh, kedua, rabiya-yarba yang berarti menjadi besar; ketiga, rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun menjaga, dan memelihara.


Berdasarkan ketiga kata itu, sebagaimana yang dikutip Ahmad Tafsir, Abdurrahman Al-bani menyimpulkan bahwa dalam tarbiyyah terdiri dari empat unsur, yaitu: (1) menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa (baligh), (2) mengembangkan seluruh potensi, (3) mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan, dan (4) dilaksanakan secara bertahap. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran Islam (Ahmad Tafsir, 2005: 29). Sedangkan yang yang menggunakan pengertian pendidikan dengan istilah ta’lim adalah Abd al-Fatah Jalal, sebagaimana yang dikutip Maksum  dalam  bukunya Madrasah. Sejarah dan Perkembangannya, Abd. Fatah Jalal memberi pengertian istilah ta’lim sebagai proses pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah sehingga terjadi pembersihan diri dari segala kotoran dan menjadikan dirinya dalam kondisi siap untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala sesuatu yang belum diketahuinya dan berguna bagi dirinya (Maksum, 1999: 18). Jadi, istilah ta’lim menurut Abd Fatah Jalal tersebut mencakup proses yang berlangsung sejak kecil hingga akhir hayat. Dengan demikian cakupannya lebih luas dari kata tarbiyyah yang terbatas pada pendidikan dan pengajaran pada masa awal atau masa bayi. Sementara, yang lebih condong dengan menggunakan istilah ta’dib untuk mengartikan pendidikan Islam dari pada menggunakan istilah  ta’lim dan tarbiyah adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas (selanjutnya Al-Attas).Menurut Al-Attas, istilah tarbiyah dalam bahasa Arab, atau education dalam   bahasa Inggris yang diperuntukkan bagi istilah pendidikan dewasa ini tidaklah tepat, karena kata tarbiyah pada dasarnya berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, mamelihara, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, menjinakkan, dan memproduksi hasil-hasil yang sudah matang. Penerapannya dalam bahasa Arab tidak hanya terbatas pada manusia saja, akan tetapi alur semantiknya meluas kepada semua jenis hewan atau spesies-spesies lain seperti mineral, tanaman, dan lain-lain (Syed Muhammad  Naquib  al-Attas, 1994: 64-68), di dalam Al-Qur‘an berkenaan dengan istilah raba dan rabba yang berarti sama. Bahwa makna dasar istilah-istilah ini tidak mengandung unsur-unsur esensial pengetahuan, intelektual dan kebajikan yang pada hakikatnya, merupakan unsur-unsur pendidikan yang sebenarnya. Demikian juga di dalam Hadis, istilah rabbayani mempunyai arti rahmah, yakni ampunan atau kasih sayang. Istilah itu mempunyai arti pemberian makanan dan kasih  sayang, pakaian dan tempat  berteduh serta  perawatan. Tentu saja dengan arti tersebut, ketiga bentuk fonem itu tidak bisa ditarik relevansinya dengan aktivitas pendidikan, baik dalam pengertian umum atau dalam konteks Islam. Oleh karena itu, tarbiyah sebagai  sebuah istilah dan konsep yang bisa diterapkan terhadap berbagai spesies dan tidak terbatas hanya untuk manusia, tidak tepat digunakan untuk menunjukkan pendidikan dalam arti Islam, karena pendidikan dalam Islam diperuntukkan hanya untuk manusia saja. Karena menurutnya, penggunaan sebuah istilah yang keliru bukan hanya merusak eksistensi dari bahasa itu sendiri, akan tetapi juga dapat merusak persepsi kita tentang sesuatu kebenaran. Penekanan terhadap istilah ta’dib bagi pendidikan Islam tersebut, nampaknya merupakan salah satu upaya merekonstruksi kembali arah dan tujuan pendidikan yang dikehendaki oleh Al-Attas (Syed  Muhammad  Naquib  al-Attas, 1994: 64-68).

Sedangkan istilah ta’lim, Al-Attas berpendapat istilah Ta’lim berasal dari kata dasar allama yang diartikan pengajaran belum mewakili untuk mengartikan pendidikan Islam. Allama digunakan secara khusus untuk menunjukkan sesuatu yang dapat diulang dan diperbanyak sehingga menghasilkan bekas atau pengaruh pada diri seseorang. Kata ta‘lim yang berakar pada kata allama dengan berbagai akar kata yang serumpun dengannya. Terkadang digunakan oleh Tuhan untuk menjelaskan pengetahuan-Nya yang diberikan kepada sekalian manusia yang digunakan untuk menerangkan bahwa Tuhan maha mengetahui terhadap segala sesuatu yang ada pada manusia, dan mengetahui tentang orang-orang yang mengikuti petunjuk Tuhan. Artinya ta’lim lebih menekankan pada pengajaran (Syed Muhammad  Naquib al-Attas, 1994: 75). Argumentasi yang diajukan Al-Attas terhadap penekanan kata adab sebagai asal kata dari ta’dib untuk istilah pendidikan Islam adalah bahwa kata adab telah mencakup amal dalam pendidikan, sedangkan proses pendidikan itu sendiri adalah untuk menjamin bahwasanya ilmu (Ilm) dipergunakan secara baik di dalam masyarakat. Dengan alasan ini juga maka orang-orang bijak, para cendekia dan sarjana Muslim terdahulu mengkombinasikan ilm dengan amal dan adab, dan menganggap kombinasi harmonis dari tiga istilah itu sebagai pendidikan. Adapun konsep kunci yang merupakan inti pendidikan dan proses pendidikan adalah adab. Karena adab adalah disiplin tubuh, jiwa, dan ruh yang menegaskan pengenalan dan pengakuan mengenai posisi yang tepat mengenai hubungannya dengan potensi jasmani, intelektual, dan ruhaniyah. Adab diartikan sebagai disiplin terhadap pikiran dan jiwa, yakni pencapaian sifat-sifat yang baik oleh pikiran dan jiwa untuk menunjukkan tindakan yang benar melawan yang salah agar terhindar dari kehinaan (Syed Muhammad Naquib  al-Attas, 1994: 52-53). Karena demikian, Al-Attas mengemukakan istilah Ta’dib adalah paling tepat untuk mengartikan pendidikan Islam, karena ta’dib sasaran pendidikannya adalah manusia. Dimana Pendidikan meliputi unsur pengetahuan, pengajaran dan pengasuhan yang baik. Ketiga  unsur tersebut sudah masuk dalam konsep ta’dib.

Akhirnya dengan merujuk pada konsep ta’dib, Al-Attas mendefinisikan pendidikan dan prosesnya sebagai berikut: Pengenalan dan pengakuan, yang secara berangsur-angsur ditanamkan dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian (Syed  Muhammad  Naquib  al-Attas, 1994: 48). Kata pengenalan dalam definisi tersebut menurut Al-Attas berarti menemukan tempat yang tepat sehubungan dengan apa yang dikenalinya, sedangkan pengakuan, berarti tindakan yang bertalian dengan perbuatan yang lahir sebagai akibat menemukan tempat yang tepat dari apa yang dikenalinya. Oleh karena itu, pengenalan saja tanpa pengakuan berarti mengisyaratkan kesombongan, sebaliknya pengakuan saja tanpa pengenalan berarti kebodohan belaka. Adanya salah satu satu saja tanpa yang lain menunjukkan kebatilan, karena dalam Islam ilmu tidaklah berguna apa-apa tanpa amal yang menyertainya, demikian juga halnya amal tidak berguna jika tidak disertai dengan bimbingan ilmu (Syed  Muhammad  Naquib  al-Attas, 1994: 48).

Pengertian Ahmad Tafsir tentang definisi pendidikan dalam Islam menjadi salah satu argumen dari berbagai uraian di atas. Menurut Ahmad Tafsir, kata   Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang berwarna Islam. Dengan begitu, pendidikan yang islami berarti pendidikan yang berdasarkan Islam. Dalam tulisan tersebut, Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal. Berdasarkan pengertian pendidikan inilah, Tafsir memandang bahwa pendidikan Islam itu tidak lain sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam itu berarti bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin (2005: 29). Jadi, Ahmad Tafsir menekankan bahwa tujuan pendidikan Islam itu harus diarahkan kepada perkembangan peserta didik secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam atau agar peserta didik itu menjadi muslim semaksimal mungkin.

Jika dilihat dalam sejarah pendidikan Indonesia maupun dalam studi kependidikan, istilah “pendidikan Islam” umumnya dipahami hanya sebatas “cirri khas” jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan Islam. Demikian pula batasan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan Islam hanya dipahami sebatas pendidikan yang diselenggarakan dengan pola dan karakteristik tertentu. Jika diklarifikasikan dalam berbagai bentuk akan muncul pembagian, antara lain: 1). Pendidikan Islam sebagai lembaga, yaitu: dalam bentuk lembaga pendidikan formal (Pasal 17, 18, dan 20); lembaga pendidikan nonformal (Pasal 26); lembaga pendidikan informal (Pasal 27); pendidikan usia dini (Pasal 28); dan pendidikan keagamaan (Pasal 30); 2). Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran (kurikulum, Pasal 37 ayat 1) (Gunawan dan Ibnu Hasan, 2015: 40).

2. Dasar-dasar Pendidikan Islam

Untuk menentukan dasar pendidikan, diperlukan jasa filsafat pendidikan. Berdasarkan pertimbangan filosofis (metafisika dan aksiologi) diperoleh nilai-nilai yang memiliki kebenaran yang meyakinkan. Untuk menentukan dasar pendidikan Islam, selain pertimbangan filosofis, juga tidak lepas dari pertimbangan teologis seorang muslim.

Islam sebagai pandangan hidup yang berdasarkan nilai-nilai Ilahiyah, baik yang termuat dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasul, diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat trasedental, universal dan eternal (abadi), sehingga secara akidah diyakini oleh pemeluknya akan selalu sesuai dengan fitrah manusia, artinya memenuhi kebutuhan manusia kapan dan dimana saja (Likulli zamanin wa makanin) (Achmadi, 2008: 82-83).

Menurut Ahmad Tafsir, secara umum dasar pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi enam, yaitu :
    a. Al-Qurʻānul karīm
    b. As-sunnah an-nabawiyah
  c. Pernyataan-pernyataan sahabat (qoulus shahābah)
    d. Peradaban (ṡaqāfah)
    e. Kemaslahatan ummat
    f. Pemikiran Islam (2005 : 29).

3. Tujuan Pendidikan Islam

Menurut Abdul Fatah Jalal sebgaimana di kutip oleh Ahmad Mutohar dan Nurul Anam mengelompokkan tujuan pendidikan Islam ke dalam tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum yaitu menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah yang senantiasa mengagungkan dan membesarkan asma Allah Swt.Dengan meneladani Rasulullah Saw. menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, gemar mempelajari segala yang bermanfaat baginya dalam merealisasikan tujuan yang telah digariskan oleh Allah (QS. al-Muddatsir: 1-3), (QS. al-‘Alaq: 1-5), (QS. Al-Dza-riyat: 56-58) dan (QS.  Al Nahl: 36). Adapun tujuan khusus sebenarnya merupakan rincian dari tujuan umum sebagaimana disebutkan di atas (Ahmad Mutohar dan Nurul Anam, 2013: 54-55).      

Menurut Abu Ahmadi sebagaimana dikutip H. Ramayulis, secara komprehensif tujuan pendidikan Islam dibagi menjadi empat tahapan, yaitu:
a. Tujuan tertinggi/terakhir, b. Tujuan umum, c. Tujuan khusus, d. Tujuan sementara (2002: 211-219).
a. Tujuan Tertinggi atau Terakhir
Tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan dan berlaku umum, karena sesuai dengan konsep ketuhanan yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi tersebut dirumuskan dalam satu istilah yang disebut “insan kamil” (manusia paripurna). Tujuan tertinggi atau terakhir ini pada akhirnya sesuai dengan tujuan hidup manusia, dan perannya sebagai mahluk ciptaan Allah (H. Ramayulis, 2002: 211).
b. Tujuan Umum
Tujuan umum ini lebih bersifat empirik dan realistik. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik, dikatakan umum karena berlaku bagi siapa saja tanpa dibatasi ruang dan waktu, dan menyangkut diri peserta didik secara total (H. Ramayulis, 2002: 213-214).
c. Tujuan Khusus
Tujuan khusus adalah pengkhususan atau operasional tujuan tertinggi/terakhir dan tujuan umum (pendidikan Islam). Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan dimana perlu sesuai dengan tuntunan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi/terakhir dan umum itu (H. Ramayulis 2002 : 217).
d. Tujuan Sementara
Tujuan sementara pada umumnya merupakan tujuan-tujuan yang dikembangkan dalam rangka menjawab segala tuntutan kehidupan. Karena itu tujuan sementara itu kondisional, tergantung dimana factor peserta didik itu tinggal atau hidup. Dengan berangkat dari pertimbangan kondisi itulah pendidikan Islam bisa menyesuaikan diri untuk memenuhi prinsip dinamis dalam pendidikan dalam lingkungan yang bercorak apapun, yang membedakan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain, yang penting orientasi dan pendidikan itu tidak keluar dari nilai-nilai ideal Islam (H. Ramayulis 2002 : 219-220).

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socrates dan Daimonion-nya

Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya ( Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion -nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat ( Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian: "Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat