Langsung ke konten utama

Modernisasi Pendidikan Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Bagian 3)



Oleh: Taufik Hidayat
Dinamika Lembaga Pendidikan Islam
1. Pesantren 
Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata Arab, funduq, yang artinya hotel atau asrama (Zamakhsyari Dhofier, 2011: 41).
Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para santri (Samsul Nizar, 2007: 286). Menurut Karel A Steenbring, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Mutohar dan Nurul Anam, pesantren adalah sekolah tradisional Islam berasrama di Indonesia (2013: 171).
Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke-18. Seiring dengan perjalanan waktu, pesantren sedikit demi sedikit maju, tumbuh dan berkembang sejalan dengan proses pembangunan dan dinamika masyarakat (Khozin, 2006: 109). Ini menunjukkan bahwa ada upaya-upaya yang dilakukan pesantren untuk mendinamisir dirinya sejalan dengan tuntutan dan perubahan masyarakatnya.
Sejarah perkembangan pesantren telah memberikan kontribusi penting dalam sejarah pembangunan Indonesia. Sebelum kolonial Belanda datang ke Indonesia, pesantren merupakan suatu lembaga yang berfungsi menyebarkan agama Islam dan mengadakan perubahan-perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik (Ahmad Bariz, 2011: 41). Tidak sedikit kontribusi yang diberikan pesantren dalam pembangunan kesatuan negara selama ini. Pertama, pada masa penjajahan pesantren memberikan perlawanan sekaligus mengambil posisi uzlah sebagai bentuk strategi perlawanan dan pertahanan dari penjajah. Pesantren mampu menjadi lembaga pendidikan yang berhasil mengembangkan pertahanan mental-spiritual, solidaritas, dan kesederhanaan hidup yang kokoh. Kedua, pada masa pergerakan dan persiapan kemerdekaan pesantren berperan sebagai pusat perjuangan/gerilyawan seperti hizbullah dan sabilillah, ketiga, sejak abad ke-20 M pesantren baru mereposisi diri ke arah sistem pendidikan yang berorientasi masa depan dengan tanpa menghilangkan tradisi-tradisi baik sebelumnya. Sejak tahun 1970-an, misalnya, pesantren mulai mengajarkan pendidikan keterampilan di berbagai bidang seperti menjahit, pertukangan, perbengkelan, peternakan, dan sebagainya (Ahmad Bariz, 2011: 45). Dinamika lembaga pendidikan Islam yang relatif tua di Indonesia ini tampak dalam beberapa hal, seperti: pertama, peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun 1977 ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri 677.384 orang. Jumlah tersebut menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 santri pada tahun 1981, (Kuntowijoyo, 1988: 102), kemudian meningkat lagi menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri 5,9 juta orang pada tahun 1985. Kedua, kemampuan pesantren untuk selalu hidup di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami berbagai perubahan. Pesantren mampu memobilisasi sumber daya baik tenaga maupun dana, serta mampu berperan sebagai benteng terhadap berbagai budaya yang berdampak negative (Khozin, 2006: 108). Kenyataan ini menunjukkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai kekuatan untuk survive.
Perkembangan secara kuantitatif maupun kemampuan bertahan di tengah perubahan, tidak otomatis menunjukkan kemampuan pesantren untuk bersaing dalam memperebutkan peserta didik. Seperti yang dijelaskan Zamaksyari Dhofier, bahwa dominasi pesantren di dunia pendidikan mulai menurun secara drastis setelah tahun 1950-an. Salah satu faktornya, adalah lapangan pekerjaan modern mulai terbuka bagi warga Indonesia yang mendapat latihan di sekolah-sekolah umum. Hal ini mengakibatkan penurunan minat kaum muda terhadap pendidikan pesantren dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum (Zamaksyari Dhofier, 2011: 75). Dewasa ini pandangan masyarakat umum terhadap pesantren dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, masyarakat yang menyangsikan eksistensi dan relevansi lembaga pesantren untuk menyongsong masa depan. Kedua, masyarakat yang menaruh perhatian dan sekaligus harapan bahwa pesantren merupakan alternatif model pendidikan Islam masa depan (Ahmad Bariz, 2011: 42). Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan, bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara turun-menurun, tanpa perubahan dan improvisasi yang berarti kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu yang singkat, pesantren semacam ini adalah pesantren yang menyusun kurikulumnya berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya (Khozin, 2006: 108). Pesantren ini lazimnya disebut pesantren modern. Program pendidikan dan pengajarannya jauh lebih baik dari  pada pesantren tradisional. Pesantren demikian biasanya menggunakan beberapa disiplin ilmu umum, seperti matematika, biologi, geografi. Pelajaran ekstra kurikuler seperti kesenian, teater, musik, seni baca al- Qur‘an. Dan tidak ketinggalan, bidang olah raga juga mendapat perhatian, seperti sepak bola, bulu tangkis, bola volly dan sebagainya 

2. Madrasah 
Menurut Samsul Nizar, ada dua aspek  yang  melatarbelakangi lahirnya  Madrasah di Indonesia yakni pertama, Pendidikan tradisional (surau, masjid, Pesantren) dianggap kurang sistematis dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai. Kedua, adanya perkembangan sekolah-sekolah Belanda di kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawa watak sekularisme, sehingga harus diimbangi dengan adanya sistem pendidikan Islam  yang  memiliki  model dan organisasi yang lebih teratur  dan terencana. Sedangkan  dalam Samsul Nizar dinyatakan bahwa sebab berdirinya madrasah adalah, pertama, munculnya gerakan pembaharuan yang dilatarbelakngi kesadaran dan semangat yang kompleks. Adapun faktor yang mendorong munculnya gerakan pembaharuan adalah (a) keinginan untuk kembali kepada Al-Qur‘an dan Hadits, (b) semangat nasionalisme dalam melawan penjajah, (c) memperkuat basis gerakan sosial, budaya dan politik, (d) pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Kedua, sebagai respon pendidikan Islam terhadap Kebijakan Pendidikan Hindia Belanda (Samsul Nizar, 2007: 291). Dengan kata lain, kemunculan madrasah bisa jadi sebagai penyempurna lembaga pendidikan Islam sebelumnya, yaitu pesantren.
Secara sosial kultural masyarakat Islam Indonesia dan variasi keagamaan mempunyai perbedaan dengan masyarakat dan tradisi keagamaan di negara-negara Islam lainnya (Nurcholish madjid, 1986: 14). Sebelum kedatangan Islam masyarakat Indonesia sudah lebih dulu mengenal dan terbentuk oleh budaya non Islam, yakni Hindu dan Budha, Animisme, dan Dinamisme. Islam masuk ke Indonesia tidak dalam keadaan kekosongan budaya, tetapi justru sudah terbentuk oleh budaya-budaya sebelumnya sehingga ajaran Islam di Indonesia terbentuk bukan hanya dari ajaran Islam murni, tetapi lebih merupakan ajaran yang terkombinasikan dengan budaya lokal yang sudah terbentuk sebelumnya (Departemen Agama direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2005: 100).
Perpaduan antara ajaran Islam dengan budaya lokal di Indonesia ini kemudian menghasilkan tradisi intelektualis tersendiri yang tidak terlepas dari karakter-karakter budaya masing-masing. Islam yang berkombinasi dengan budaya-budaya lokal atau yang sering disebut dengan Islam Sinkretis inilah yang kemudian banyak berkembang dan diterima oleh kebanyakan mayarakat Indonesia (Hasbullah, 1996: 162). Maka budaya Islam Indonesia lebih merupakan kelanjutan budaya-budaya yang terbentuk dan berkombinasi dengan ajaran-ajaran Islam. Islam Sinkretis yang berkembang di Indonesia inilah yang kemudian berinteraksi dengan budaya-budaya lain termasuk budaya barat. Dan madrasah adalah salah satu hasil dari bentuk perpaduan antara budaya Islam yang mempunyai akar budaya Nusantara dan budaya Barat (Departemen Agama direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2005: 101).
Pada permulaan abad ke-20 masyarakat Islam Indonesia telah mengalami beberapa perubahan baik agama, sosial maupun ekonomi. Masyarakat Indonesia telah mempunyai hasrat untuk  melawan  penjajahan bangsa Belanda dengan segenap kemampuan yang dimiliki, selain itu ghiroh untuk mengajarkan pendidikan bagi anak bangsa terus dilaksanakan, supaya anak cucunya tidak bodoh serta mudah diperalat oleh para penjajah Belanda. Dengan demikian, banyak dari para tokoh agama untuk mengadakan perubahan pada sektor pendidikan Islam. Perubahan dalam sektor pendidikan Islam awalnya mulai tampak di Minangkabau, bahwa pendidikan Islam di Minangkabau diadakan di Surau dengan tidak berkelas-kelas dan tidak memakai bangku dan papan tulis, yakni hanya duduk bersila saja. Mulailah perubahan sedikit demi sedikit sehingga pada tahun 1914 syekh Abdullah Ahmad mempelopori Syarekat Oesaha selanjutya mendirikan madrasah Adabiah 13 Agustus 1915. Demi memperbaiki mutu pendidikan, ia memasukkan empat orang guru dari Belanda. Pada tahun 1916 sekolah Adabiah diakui oleh pemerintah sebagai H.I.S. pertama yang didirikan oleh organisasi Islam yang kemudian pada tahun 1915 diubah menjadi H.I.S. Pada sekolah tersebut juga dimasukkan pelajaran-pelajaran agama dan pelajaran umum (Hanun Asrohah, 2001: 157). Sistem pendidikan seperti ini ternyata mendapat sambutan hangat dari umat Islam di Minangkabau. Sampai tahun 1922 tercatat 15 sekolah yang memakai sistem ini, padahal masing-masing sekolah tidak ada hubungan sama sekali (Hanun Asrohah, 2001: 158). Di Surau jembatan besi juga diperkenalkan sistem  pendidikan modern.  Di  Surau ini Zainudin Labai mendirikan sekolah diniyah yang menerapkan model modern pada 1915. Pelajaran disampaikan dengan sistem klasikal serta kurikulumnya juga memasukkan pengatahuan agama dan umum terutama sejarah dan ilmu bumi (Deliar Noer, 1991: 51). Disurau jembatan ini juga berdiri Sumatera Thawalib yang memberikan perhatian kepada dunia pendidikan, perkumpulan ini mendirikan sekolah-sekolah agama di padang panjang, Parabek, Batu Sangkar, Maninjau, Bukit Tinggi dan sebagainya. Satu tahun setelah berdiri, Sumatera Thawalib mulai mengkordinir sistim Barat di sekolah-sekolah Thawalib (Deliar Noer, 1991: 62).
Selain di Minangkabau, semangat perubahan ini juga mulai merambah terhadap organisasi-organisasi yang ada di Nusantara pada saat itu, diantaranya; Jam‘iyat Khair, Muhammadiyah, dan Nahdltul Ulama‘. Al-Jam‘iyat al-Khairiyah, yang lebih dikenal dengan nama Jam‘iyat Khair didirikan di Jakarta tanggal 17 Juli 1905. Organisasi ini mendirikan sekolah dasar umum pada tahun 1905, didalamnya terdapat  mata  pelajaran sejarah dan ilmu bumi. Salah seorang  guru  yang paling terkenal adalah Syekh Ahmad Soekatti dari Sudan (Deliar Noer, 1991: 62). Tampilnya Jam‘iyat Khair dalam gerakan pembaharuan pendidikan Islam terasa penting karena organisasi ini termasuk organisasi modern dalam anggaran dasar, daftar anggota dan rapat-rapat. Organisasi ini termasuk organisasi pertama yang didirikan oleh orang bukan Belanda, yang keseluruhan kegiatannya di selenggarakan berdasarkan sistem barat.
Sedangkan Muhammadiyah, adalah organisasi Islam yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan kemasyarakatan. Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 10 November 1912. Tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk membebaskan umat Islam dari kebekuan dalam segala bidang  kehidupannya, dan praktek-praktek agama yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam. Saat itu, umat Islam telah dipengaruhi sikap fatalisme, bid‘ah, khurafat, dan konservatisme yang berpengaruh kuat pada kehidupan keagamaan dan sosial ekonomi masyarakat muslim Indonesia (Deliar Noer, 1991: 68). Saat itu belum ada organisasi Islam yang kuat dan maju, sehingga Muhammadiyah tampil menjadi organisasi Islam yang ingin memperjuangkan nasib umat Islam dan memajukan kehidupan keagamaan kepada umat Islam. Untuk mencapai hal tersebut Muhammadiyah mengadakan kajian Islam dan tabligh, mendirikan masjid, menerbitkan buku, brosur, surat kabar, dan majalah.
Melihat sistem pendidikan Islam tradisional yang telah ketinggalan zaman, Muhammadiyah merumuskan kegiatan dan memperbarui sistem pendidikan Islam secara modern sesuai ssuai dengan kehendak dan kemajuan zaman. Sebagai organisasi dakwah dan pendidikan, Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pada 1915 K.H. Ahmad Dahlan mulai mendirikan sekolah dasarnya yang pertama. Pada sekolah ini diberikan pengetahuan umum dan pengetahuan (Tim Penyusun Ensiklopedia Islam, 1993: 790). Pada tahun 1925, organisasi ini telah mempunyai delapan Hollands Inlandse School (HIS), satu sekolah guru di Yogyakarta, 32 buah sekolah dasar, 1 Scakel School (SS).
Organisasi berikutnya adalan Nahdlatul Ulama‘, Nahdlatul Ulama berdiri pada tahun 1926, mulanya organisasi ini tidak mempunyai rencana yang   jelas   kecuali yang bersangkutan dengan masalah pergantian kekuasaan di Hijaz. Pada tahun 1927 baru tujuan organisasi dirumuskan. Organisasi ini bertujuan memperkuat ikatan salah satu dari empat mazhab serta untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk anggota, sesuai dengan Islam. Kegiatan ini meliputi usaha untuk memperkuat persatuan diantara para ulama yang masih berpegang teguh pada mazhab, pengawasan terhadap pemakaian kitab di pesantren, penyebaran Islam, perluasan jumlah madrasah dan pesantren serta perbaikan organisasinya (Hanun Asrohah, 2001: 170). Nahdlatul Ulama memberikan perhatian yang besar bagi pendidikan, khususnya pendidikan tradisional yang harus dipertahankan keberadaannya. Pada awal berdirinya, NU tidak membicarakan secara tegas tentang pembaruan pendidikan. Namun begitu, NU juga terjun dalam kegiatan pembaruan pendidikan, meski terbatas di lingkungan perkotaan, NU mendirikan madrasah-madrasah dengan model barat sampai akhir tahun 1938 komisi perguruan NU mengeluarkan reglement tentang susunan madrasah-madrasah NU, yang terdiri dari:
a. Madrasah Awaliyah, lama belajar 2 tahun
b. Madrasah Ibtidaiyah, lama belajar 3 tahun
c. Madrasah Tsanawiyah, lama belajar 3 tahun
d. Madrasah Mualillimin Wustho, lama belajar 2 tahun
e. Madrasah Muallimin ulya, lama belajar 3 tahun (Hanun Asrohah, 2001:  170).
Pada awal pertumbuhannya, madrasah tampil sebagai sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama murni, sebagai perpanjangan dari madrasah diniyah yang telah ada sejak abad-abad pertama sejarah Islam di timur tengah. Sementara di pihak lain, sekolah-sekolah yang mengajarkan ilmu- ilmu umum telah terlebih dahulu ada. Dengan demikian, di awal masa pembaharuan Islam di Nusantara terdapat dualitas pendidikan; yakni pendidikan Islam (keagamaan) dan pendidikan umum sekitarnya (Khozin, 2006: 129). Kondisi seperti ini selanjutnya berkembang menjadi praktik pendidikan dan pengembangan ilmu yang bernuansa dikotomik.
Namun iklim dikotomik ini secara perlahan tereduksi dan bahkan hilang sama sekali, terutama ketika ditetapkannya undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peraturan pemerintah Nomor 28 dan 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah,serta diberlakukannya kurikulum 1994, dimana status madrasah sebagai madrasah diniah berubah menjadi sekolah berciri khas Islam. Dengan perkataan lain, kedudukan madrasah sudah berbanding lurus dengan sekolah-sekolah umum (Hanun Asrohah, 2001: 171).
Reposisi madrasah secara konstitusi, agaknya menjadi spirit utama dalam gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan dan tekhnologi, sekaligus memberikan legitimasi teologis perubahan kurikulum madrasah yang integratif, sehingga muncullah kemudian apa yang dikenal dengan madrasah terpadu (Khozin, 2006: 129). Perkembangan ini membawa implikasi yang cukup mendasar bagi eksistensi madrasah yang semula dipandang sebagai institusi keagamaan, namun kemudian mengalami pengkayaan peran dan fungsi. Oleh karena itu, madrasah kemudian mendapat beban yang cukup berat, yaitu kewajiban untuk memeberikan materi-materi dari dua perspektif sekaligus. Karena itu bisa dikatakan kehadiran madrasah dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memberlakukan secara seimbang antara ilmu agama dan ilmu umum dalam kegiatan pendidikan di kalangan umat Islam. Dan dari sinilah dilema dan spora permasalahan mulai muncul.
Menurut Abdul Munir Mulkhan, sejak perubahan status ini madrasah terus menghadapi pilihan yang sulit, yaitu di antara kebutuhan keagamaan dan kebutuhan duniawi.Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam. Sementara di sisi lain, lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam memenuhi kebuutuhan hidup yang tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu agama tersebut (Abdul Munir Mulkhan, 2000: 30). Beratnya beban yang diemban oleh madrasah tersebut, ternyata bertolak belakang dengan kondisi sumber daya yang dimiliki. Sekedar memperjelas, kualitas pembelajaran di madrasah masih sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari sumber daya manusia yang secara umum, belum memenuhi kualifikasi keguruan sesuai mata pelajaran yang dibina (khususnya mata pelajaran umum).Parameter lain adalah minimnya fasilitas pembelajaran seperti sarana laboratorium, perpustakaan, teknologi informasi dan alat pembelajaran lainnya.
Terkait dengan kendala manajemen, kondisi madrasah juga masih memprihatinkan. Kendala manajemen ini terutama berkaitan dengan bagaimana memaksimalkan dan mengembangkan sumber daya internal, dan kemampuan mencari sumber-sumber baru. Termasuk dalam kendala ini, adalah rendahnya visi dan orientasi para pengelola madarasah dalam peningkatan mutu pendidikan (Hanun Asrohah, 2001: 173). Madrasah sebagai lembaga dan sistem pendidikan Islam mempunyai karakter yang spesifik, apabila dibandingkan dengan lembaga pendidikan non madrasah. Husni Rahim menyebutkan ada 4 karakter yang dimiliki oleh madrasah, yaitu: (Husni Rahim, 2002: 68) 
a. Karakter islami. Identitas ke-Islamannya tercermin dalam kurikulum dan proses pendidikannya.
b. Karakter populis. Sejak periode yang paling dini, madrasah lahir dan berkembang dengan dukungan masyarakat serta tebuka bagi semua lapisan masyarakat.
c. Karakter keragaman. Madrasah menunjukkan adanya watak fleksibilitas dalam pelaksanaan pendidikan. Madrasah harus berorientasi pada mutu dalam menghadapi tantangan masa depan. 
d. Karakter mandiri. Apalagi jika dikaitkan dengan mayoritas madrasah di Indonesia adalah berstatus swasta, yang sampai dengan tahun 2005 madrasah swasta jumlahnya mencapi 92 % dari 39.309, mulai dari tingkat MI, MTS dan MA. Madrasah-madrasah tersebut mampu bergulat menghadapi berbagai macam tantangan, mulai dari mengusahakan tanah untuk pendirian bangunan gedungnya, mencari guru-guru pengajarnya, mengusahakan dana setiap bulan untuk biaya operasionalnya, menyediakan sarana dan prasarana, hampir semuanya ditanggung oleh para pendiri dan pengurus madrasah bersama-sama masyarakat. Sejak zaman Belanda, Jepang, kemerdekaan Orde Lama, Orde Baru, sampai Reformasi, bantuan dari pemerintah dapat dikatakan sangat sedikit dan terbatas.
Salah satu permasalahan yang mengemuka dalam upaya meningkatkan kualitas madrasah, ialah ketidakseimbangan antara jumlah madrasah negeri dan swasta, dan persebaran madrasah negeri yang tidak merata. Ke tidakseimbangan madrasah negeri dan swasta merupakan dampak dari mekanisme pertumbuhan lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bottom up. Prakarsa dan peran masyarakat begitu besar dalam menyediakan wadah atau institusi pendidikan bagi anak-anak mereka. Terkait dengan pendirian madrasah, karena motivasi agama, tidaklah terlalu berat bagi masyarakat untuk merelakan tanah berupa wakaf, dan dana sumbangan. Hanya saja, betapapun kuat motifasi masyarakat selama ini, namun tidak sebanding dengan tuntutan pengembangan pendidikan modern dewasa ini (Khozin, 2006: 121). Jika hanya mengandalkan swadana dan swadaya masyarakat saja, tentu tidak akan mampu memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan modern, yang semakin menuntut relevansi tinggi terhadap dunia industri dan teknologi. Di pihak lain, karena keterbatasan dana dan kemampuan, pemerintah mengambil strategi pengembangan sekolah-sekolah negeri (A. Malik Fadjar, 1999: 78). Dengan demikian, sekolah swasta termasuk madrasah yang secara tidak langsung menjadi second target peningkatan kualitas pendidikan.
Atas pertimbangan inilah, pemerintah Departemen Agama mengambil kebijakan pemberdayaan dan peningkatan kualitas dengan menegerikan beberapa madrasah swasta. Terkait dengan penegerian madrasah swasta ini, pemerintah melakukan seleksi yang ketat dengan memprioritaskan pada madrasah-madrasah swasta yang secara keseluruhan, masih memerlukan intervensi pemerintah. Sementara bagi madrasah swasta yang dinilai mapan dan kuat, setidaknya mampu berjalan normal pemerintah hanya menyediakan dana pembinaan, karena betapa pun kuat sebuah madrasah swasta, tetap saja memiliki keterbatasan (Khozin, 2006: 122).

 3. PendidikanTinggi Islam 
Pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam sudah dirintis sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, dimana Dr. Satiman Wirjosandjoyo pernah mengemukakan pentingnya keberadaan lembaga pendidikan tinggi Islam untuk mengangkat harga diri kaum Muslim di Hindia Belanda yang terjajah itu (Musyrifah Sunanto, 2007: 314-315).
Gagasan tersebut akhirnya terwujud pada tanggal 8 Juli 1945 ketika Sekolah Tinggi Islam (STI) berdiri di Jakarta di bawah pimpinan Prof. Abdul Kahar Muzakkir, sebagai realisasi kerja yayasan Badan Pengurus Sekolah Tinggi Islam yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua dan M. Natsir sebagai sekretaris. Ketika masa revolusi kemerdekaan, STI ikut Pemerintah Pusat Republik Indonesia hijrah ke Yogyakarta dan pada tanggal 10 April 1946 dapat dibuka kembali di kota itu (Direktorat Perguruan Tinggi Islam, http:// www.ditpertais.net/ttgiain.asp/2003/, tanggal 12 Februari 2018).
Dalam sidang panitia Perbaikan STI yang dibentuk pada bulan November 1947 memutuskan pendirian Universitas Islam Indonesia (UII) pada 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Agama, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Tanggal 20 Februari 1951, Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII) yang berdiri di Surakarta pada 22 Januari 1950 bergabung dengan UII yang berkedudukan di Yogyakarta (Khozin, 2006: 139). Secara konseptual, menurut Husni Rahim gagasan-gagasan baru tentang pengembangan pendidikan Islam, khususnya IAIN, yang muncul pada tahun-tahun pertama dekade ini merupakan suatu usaha untuk menghindari kebuntuan pembaharuan yang sudah berlangsung sejak pertengahan dekade 1970-an yang memprihatinkan banyak kalangan dimana kajian Islam di perguruan tinggi Islam tampaknya berhenti pada dasar-dasar rasionalisme dan komparatifisme yang sudah diletakkan oleh tokoh-tokoh pembaharuan seperti Harun Nasution dan Mukti Ali. Belakangan ini, muncul kebutuhan dan tuntutan baru yang kompleks sehingga memerlukan usaha-usaha pembenahan akademik lebih lanjut (Husni Rahim, 2004: 49-50).
Lebih jelas Husni Rahim menegaskan bahwa ada dua gagasan besar pengembangan pendidikan tinggi Islam yang muncul pada dekade 1990-an adalah menjadikan IAIN sebagai pusat keunggulan studi keIslaman (the center of exellence of Islamic studies) dan gagasan yang berskala besar yaitu mengembangkan IAIN menjadi unversitas yaitu Universitas Islam Negeri (UIN). Gagasan besar kedua ini muncul terkait dengan berkembangnya isu perlunya islamisasi ilmu pengtahuan dalam rangka menutupi kehampaan mental dan spiritual dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Di mana dengan berubah menjadi Universitas kemungkinan pengembangan disiplin-disiplin ilmu umum dapat dilakukan dan dapat dipadukan dengan tradisi kajian Islam yang sudah berkembang sekaligus sebagai upaya menolong IAIN dari keterasingan yang lebih jauh dalam tata pergaulan dunia pendidikan tinggi (Husni Rahim, 2004: 51).
Gagasan-gagasan besar yang masih bersifat wacana itu, tentunya tidak akan pernah usai dengan menggelar berbagai seminar, workshop atau konferensi tingkat dunia sekalipun jika tidak ada usaha untuk mempertegas, mempertajam dan keberanian dalam memperbaharui pendidikan tinggi Islam secara lebih nyata. Oleh karena itu, gagasan- gagasan perubahan kelembagaan PTAIN yang sejak lama diwacanakan mulai ditabuh pada tahun 1997 dimana terjadi dua perubahan institusi kelembagaan yang cukup signifikan dalam tubuh PTAIN. 
Pertama adalah perubahan status dari fakultas cabang di lingkungan IAIN menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) melalui Surat Keputusan Presiden No.11 Tahun 1997. Keputusan Presiden ini telah membuat sejarah monumental dimana pada saat yang sama 33 Fakultas Cabang IAIN menjadi STAILN (Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri) yang diprakarsai oleh Dirjen Lembaga Islam yang saat itu dijabat oleh Abdul Malik Fadjar (A. Malik Fadjar, 2005: 35). Perubahan kelembagaan seperti ini sebagai satu usaha untuk mendudukkan posisi perguruan tinggi pada proporsi yang sebenarnya sesuai dengan kehendak undang-undang dan peraturan pemerintah yang telah menggariskan bahwa struktur perguruan tinggi yang benar adalah universitas, institut, sekolah tinggi, akademi dan diploma, bukan fakultas cabang. 
Kedua adalah dengan perubahan kelembagaan pendidikan tinggi dari IAIN atau STAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Perubahan ini dimulai sejak alih status IAIN Syarif Hidayatullah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, kemudian secara berturut- turut diikuti oleh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malang menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang berdasarkan Keputusan Presiden tentang Perubahan STAIN Malang menjadi Universitas Islam Negeri Malang nomor 50 tahun 2004 tanggal 21 Juni 2004. Tidak hanya sampai tiga PTAIN ini saja, arus perubahan juga merebak ke tiga IAIN, yaitu IAIN Alauddin Makasar, IAIN Pekanbaru Riau dan IAIN Sunan Gunung Djati Bandung pun ikut beralih status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) (Haidar Putra Daulay, 2004: 140). Kedua model perubahan institusional ini, perubahan fakultas cabang menjadi STAIN dan perubahan IAIN atau STAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) setidaknya dapat menjadi jawaban bagi kegelisahan intelektual para cendekiawan maupun intelektual Islam sejak tahaun 1970- an hingga tahun 1990-an yang menginginkan perubahan secara totalitas di tubuh pendidikan tinggi Islam. Oleh karena itu, Abdul Malik Fadjar menegaskan bahwa perubahan institusional ini bukan sekedar perubahan papan nama, tetapi  diharapkan  sebagai  salah  satu  model reintegrasi keilmuan yang menunjuk pada satu bentuk pengembangan, peningkatan, dan pemantapan status akademik yang lebih profesional. Sehingga UIN bisa diprediksikan dapat menjadi model sistem pendidikan tinggi Islam yang memiliki kualitas tinggi dibanding dengan PT atau PTS lainnya (A. Malik Fadjar, 2005: 35-36).
 Baik perubahan fakultas cabang menjadi STAIN maupun perubahan IAIN atau STAIN menjadi UIN sesungguhnya memiliki satu misi yaitu memperluas kawasan dan kajian keilmuan di perguruan tinggi Islam. Oleh karena itu, gagasan mengubah status baik dari IAIN atau STAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) sebenarnya merupakan alternatif bagi pengembangan atau gagasan untuk mengembangkan keilmuan Islam secara lebih luas. Karena, untuk mengembangkan ilmu sebagai mana tuntunan ajaran Islam, yang bersumber dari Al Qur‘an dan Hadits, sekaligus melalui penelitian ilmiah, belum cukup jika terwadahi dalam lembaga pendidikan berupa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) atau Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang mengembangkan keilmuan yang sejenis, ilmu agama Islam secara normatif tanpa bisa menjangkau dimensi keilmuan (dimensi kauniyah) lainnya yang justru sangat diperhatikan oleh al-Qur‘an dan al-Hadist (Imam Suprayogo, 2006: 9-10).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socrates dan Daimonion-nya

Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya ( Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion -nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat ( Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian: "Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat