Langsung ke konten utama

Jawaban Ibnu Rusyd Atas Sanggahan Al-Ghazali


Ibnu Rusyd adalah salah satu filosof Muslim yang pemikirannya cukup berpengaruh bagi dunia Muslim ataupun Eropa. Ibnu Rusyd biasanya lebih umum dikenal dengan sebutan Averrois. Sebenarnya sebutan Averrois untuk Ibnu Rusyd ini adalah akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Oleh orang Yahudi, kata arab Ibnu diucapkan seperti kata Ibrani (bahasa Yahudi) dengan Aben. Sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Tetapi dalam bahasa Spanyol huruf konsonan "b" diubah menjadi "v", maka Aben menjadi Aven Rochd. Melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dalam bahasa Arab disebut idgham kemudian berubah menjadi Averrochd. Karena dalam bahasa latin tidak ada konsonan huruf "sy", kemudian huruf "sy" diganti dengan "s" sehingga menjadi Averrosd. Kemudian, rentetan "s" dan "d" dianggap sulit dalam bahasa Latin, maka huruf "d" dihilangkan sehingga menjadi Averros. Agar tidak terjadi kekacauan antara huruf "o" dengan "s" posesif maka antara "o" dan "s" diberi sisipan "e" sehingga menjadi Averroes, dan "e" sering mendapat tekanan sehingga menjadi Averrois.

Mungkin itu asal usul dari penyebutan Averrois yang diberikan kepada Ibnu Rusyd hingga saat ini kita kenal. Kembali ke pembahasan inti mengenai jawaban Ibnu Rusyd atas sanggahan serta kritik mematikan yang dilontarkan oleh Al-Ghazali kepada filosof Muslim. Ada tiga butir sanggahan yang dilontarkan Al-Ghazali tersebut. diantaranya adalah tentang kekadiman alam, Allah tidak mengetahui yang rincian di alam, dan mengenai kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada. Sehingga dengan terlontarnya sanggahan tersebut membuat Ibnu Rusyd menjadi merasa memiliki kewajiban untuk memberikan jawaban kepada Al-Ghazali. Hal ini juga sempat membuat Ibnu Rusyd marah sampai dia mengatakan bahwa bukan pemikiran filosof yang rancu, melainkan pemikiran Al-Ghazali lah yang yang rancu, sampai pada akhirnya menurut Ibnu Rusyd, judul buku milik Al-Ghazali tentang Tahafut al-Falasifah (kacaunya pemikiran para filosof) lebih tepat diberi judul Tahafut Abi Hamid (kacaunya pemikiran Abu Hamid/ Al-Ghazali). Untuk lebih jelasnya lagi, dibawah ini akan kita sajikan terkait jawaban Ibnu Rusyd terhadap sanggahan Al-Ghazali tersebut:

1. Alam Kadim

Menurut Al-Ghazali, sesuai dengan keyakinan teolog Muslim, alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (al-ijad min al-'adam, creatio ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak butuh kepada yang mengadakan. Justru itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof Muslim, alam ini kadim, dalam arti alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.

Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali keliru menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa kadimnya alam sama dengan kadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada, menurut filosof Muslim adalah sesuatu yang mustahil yang tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil yang kosong) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti kadim.

Kelihatannya, menurut pemikiran Al-Ghazali, pada saat Allah menciptakan alam, yang ada hanyalah Allah sendiri, dan tidak ada sesuatupun selain-Nya. Sementara itu, menurut pemikiran para filosof Muslim, di kala Allah menciptakan alam sudah ada sesuatu selain Allah. Dari sesuatu yang sudah ada itulah alam diciptakan Allah. Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu Rusyd mengemukakan sejumlah ayat al-Qur'an seperti: QS Al-Anbiya' :30 ; Hud: 7 ; Fushshilat:11 dan Al-Mu'minun:12-14.

Dari keterangan ayat-ayat diatas dapat disimpulkan bahwa sebelum alam ini diciptakan sudah ada sesuatu yang lain, yakni ma' (air) dan dukhan (uap). Dengan demikian, kata Ibnu Rusyd, pendapat para filosof Muslimlah yang sesuai dengan bunyi ayat, sedangkan pendapat kaum teolog Muslim tidak sesuai dengan arti lahir ayat, dan dalam hal ini berarti mereka (teolog Muslim) mengambil arti metaforik, yang seharusnya mengambil arti lahir ayat dan sebaliknya filosof Muslim yang mengambil arti lahir ayat, yang seharusnya mengambil arti metaforik.

Menurut Ibnu Rusyd, terjadinya perbedaan pendapat dalam hal ini disebabkan perbedaan antara kaum teolog Muslim dan kaum filosof Muslim dalam memberikan arti kata al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog Muslim, al-ihdats berarti menciptakan dari tiada, sedangkan bagi kaum filosof Muslim, kata itu berarti mewujudkan dari ada menjadi ada dalam bentuk lain. Demikian pula dalam mengartikan arti qadim, berarti sesuatu yang mempunyai wujud tanpa sebab, sedangkan bagi kaum filosof Muslim, qadim berarti sesuatu yang kejadiannya dalam keadaan terus-menerus tanpa awal dan tanpa akhir.

Dalam Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka tentang alam ini hanya perselisihan dari segi penanaman atau semantik. Lebih lanjut dikatakannya, mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis.

a. Jenis pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dan dari sesuatu, dengan arti wujudnya ada Pencipta dan diciptakan dari benda serta didahului oleh zaman. Jenis ini adalah benda-benda yang dapat diketahui dengan indra, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka namakan dengan baharu
b. Jenis kedua, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini sepakat mereka namakan dengan kadim. Ini hanya dapat diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan memeliharanya. Wujud yang kadim inilah yang disebut dengan Allah.
c. Wujud yang ketiga ini adalah wujud ditengah-tengah antara kedua jenis diatas, yaitu wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, tetapi terjadinya karena sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam semesta. Wujud alam ini ada kemiripannya dengan wujud jenis yang pertama dan yang kedua. Dikatakan ini mirip dengan wujud jenis yang pertama karena wujudnya dapat kita saksikan dengan indra, dan dikatakan wujudnya mirip dengan jenis yang kedua karena wujudnya tidak didahului oleh zaman dan adanya sejak azali. Oleh karena itu, siapa yang mengutamakan kemiripannya dengan baharu, maka wujud alam ini mereka sebut baharu, dan siapa yang mengutamakan kemiripannya dengan kadim, maka mereka katakan alam ini kadim. Sebenarnya wujud pertengahan (alam) ini tidak benar-benar kadim dan tidak pula benar-benar baharu. Sebab yang benar-benar kadim adanya tanpa sebab, dan yang benar-benar baharu pasti bersifat rusak.

BERSAMBUNG..........

Rujukan:

1. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2014)
2. Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 94-95
3. Muhammad 'Athif Al-Iraqy, al-Naz'at al-'Aqliyyat fi Falsafah Ibn Rusyd (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1979), hlm. 78
4. Harun Nasution, "Al-Ghazali dan Filsafatnya", Makalah Simposium tentang Al-Ghazali diselenggarakan oleh Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (Jakarta: 26 Januari 1985), hlm. 5 (selanjutnya disebut Harun Nasution, Al-Ghazali)
5. Ibid., hlm. 6
6. Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Tahkik Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1971), hlm. 362. (Selanjutnya disebut Ibnu Rusyd, Tahafut)
7. Ibid., hlm. 272
8. Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal wa Taqrir Bayin al-Syari'ah wa al-Hikmat min al-Ittishal, Tahkik Muhammad Immarat, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1972), hlm. 40-42

Komentar

  1. Sip mantap....bagi allah penciptaan alam daribtiada ke ada ibarat memindah songkok dari sisi kanan ke sisi kiri...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socrates dan Daimonion-nya

Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya ( Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion -nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat ( Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian: "Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat