Langsung ke konten utama

Modernisasi Pendidikan Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman Bag 5




Modernisasi Pendidikan Islam
1. Pengertian Modernisasi
       Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak selalu memainkan peran ideal dan determinan bagi pemeluknya. Dalam rangka menghadapi realitas sosial dan kulturan, Islam tidak selalu mampu memberikan jawaban yang diharapkan para pemeluknya. Kenyataan ini banyak terkait dengan sifat ilahiah dan trasendensi Islam, berupa ketentuan-ketentuan yang normatif-dogmatif. Di sini sering terjadi semacam “pertarungan teologis” antara keharusan memegang doktrin yang bersifat normative dengan keinginan memberikan pemaknaan baru terhadap doktrin tersebut agar tampak historisitasnya. Pertarungan ini pada gilirannya memunculkan konflik teologis, intelektual, dan sosial di kalangan kaum Muslim secara keseluruhan. Kenyataan inilah yang di antarnya mewarnai munculnya gerakan modernisasi dalam Islam (Toto Suharto, 2014: 124).         
       Istilah modernisme bukan merupakan hal yang baru dalam pendengaran mayoritas masyarakat di dunia ini. Secara definitif modernisasi bukanlah suatu penciptaan standar norma baru. Tetapi, standar norma itu telah ada sebelumnya. Term modernisasi atau pembaharuan merupakan alih bahasa dari istilah tajdid. Ketiga istilah ini (pembaharuan, tajdid, dan modernisasi) sering dipahami berlainan sehingga tidak jarang menimbulkan polemik tak berujung di kalangan kaum Muslim sendiri. Dalam kesempatan ini, ketiganya dimaknai sebagai istilah yang memiliki pengertian sama (Toto Suharto, 2014: 124).
       Secara bahasa “modernisasi” berasal dari kata modern yang berarti ; a) Terbaru, mutakhir. b) Sikap dan cara berpikir sesuai dengan perkembangan zaman. Kemudian mendapat imbuhan “sasi”, yakni “modernisasi”, sehingga mempunyai pengertian suatu proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan perkembangan zaman (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989: 589), adalah buah dari gerakan Renaisans abad ke-16 di Eropa, yang berlanjut dengan rasionalisme dan berpuncak pada sekularisme, materialisme dan ateisme pada abad 19 dan 20. Modernitas bermula sebagai suatu usaha untuk melepaskan diri dari transendensi, yang dikemas dengan bingkai filsafat ataupun agama.
       Kata modernisasi yang berasal dari kata modern, atau modernisme”, seperti kata lainnya yang berasal dari Barat, telah di pakai dalam bahasa  Indonesia yang berarti terbaru, mutakhir, atau bisa berarti sikap dan cara berfikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Pembaharuan  dalam  Islam  timbul  sebagai  reaksi  dan  respon  umat Islam terhadap imperialisme Barat  yang telah mendominasi dalam bidang politik dan budaya pada abad 19. Namun, imperialisme Barat bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan adanya pembaharuan dalam Islam.
       Kata modern yang dikenal dalam bahasa Indonesia jelas bukan istilah original atau asli melainkan diekspor atau diambil dari bahasa asing (modernization), berarti terbaru atau mutakhir menunjuk kepada perilaku waktu yang tertentu (baru). Akan tetapi, dalam pengertian yang luas modernisasi selalu saja dikaitkan dengan perubahan dalam semua aspek kawasan pemikiran dan aktifitas manusia. Secara teoritis di kalangan sarjana Muslim mengartikan modernisasi lebih cenderung kepada suatu cara pandang. Modernisasi adalah mencakup pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Harun Nasution, 1996: 181).
       Perhatian utama modernitas adalah problematika kekinian, sehingga modernitas ingin membebaskan manusia dari kegamangan menghadapi kehidupan, melepaskannya dari segala beban moral yang dapat merintanginya untuk meraih kebahagiaan hidup duniawi. Gerakan Renaisans yang dimaksudkan di atas adalah gerakan yang ditegakkan atas sendi antroposentrik yang menjadikan manusia sebagai pusat dan ukuran segala-galanya. Sementara wahyu secara berangsur dan sistematis  dibuang  karena  dirasakan  tidak  perlu  lagi.  Sistem  nilai  dan sistem kebenaran  yang dapat dipercaya adalah sejauh  yang berada  dalam bingkai radius inderawi, sedangkan di luar itu tidak ada nilai dan kebenaran. Dalam konteks ini, istilah yang dipakai A.J Toynbee sebagai extra scientific knowledge (pengetahuan ilmiah ekstra) tidak diberi tempat dalam kawasan modernitas. Manusia diposisikan sebagai pemain tunggal. Pendamping baginya tidak dibutuhkan dan pada tingkatnya yang tertinggi Tuhan telah dilupakan (Ahmad Syafi‘i Ma‘arif, 1995: 94). Modernisasi bisa juga disebut dengan reformasi yaitu membentuk kembali, atau mengadakan perubahan kepada yang lebih baik, dapat pula diartikan dengan perbaikan.
       Modernisasi adalah proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak aqliyah (rasional), dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang aqliyah (Nurcholish Madjid, 2013: 208). Urgensi modernisasi yang ditawarkan oleh Nurcholish Madjid adalah Rasionalisasi (Nurcholish Madjid, 2013: 208),  hal  itu di maksudkan sebagai usaha untuk  memberi jawaban Islam, terhadap masalah-masalah baru di sekitar  modernisasi itu sendiri. Dan ide modernisasi Nurcholish ini masih berorientasi kepada agama yang dianutnya (Islam), tidak sebagaimana modernisasi ala Barat, yang meletakkan dasarnya di atas Materialisme. Modernisasi bisa bermakna dua hal, makna pertama mengambil mentah-mentah setiap hal yang datang dari Barat. Sedangkan makna kedua, mengambil sains dan teknologi Barat bahkan berusaha kembali menjadi terdepan di  bidang sains dan teknologi. Bila makna kedua yang dipakai, kita bisa menjadi Islam dan modern sekaligus. Menurut Nurcholis Madjid modernisasi sebuah peradaban adalah sebuah keharusan sejarah yang tidak akan mungkin dapat dielakkan apalagi ditentang. Karena itu sangatlah salah jika sebuah modernitas di artikan sebagai sebuah pertentangan antara dua tempat yang saling berseteru misalnya pertarungan antara barat dengan timur, Islam dengan Kristen, atau Asia dengan Eropa. Sebenarnya yang terjadi dalam modernisasi adalah pertarungan dua zaman yang berbeda antara abad agrarian dan abad teknis, dua abad yang perbedaannya menjadi sangat terlihat pasca masa kebangkitan Eropa (Ahmad Amir Aziz, 1999: 25).
       Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa dalam pemikiran Nurcholish Madjid pembaharuan hanya bisa dilakukan dengan menghubungkan pemikiran tradisionalis dengan modernis sehingga akhirnya melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang progresif, modern, dan tidak mengalami keputusan intelektual dengan pemikiran Islam era klasik yang sangat maju pada zamannya. Pembaharuan tersebut, memperlihatkan cara berpikir holostik Nurcholis yang menghormati pemikiran para pendahulunya, namun tidak terperangkap dengan mendewakan pemikiran tersebut dalam sakralisasi pemikiran. Maka, arti itu sangat pantas jika pembaharuan yang dicanangkan olehnya bergerak dalam kerangka utama neo-modernis (Ahmad Amir Aziz, 1999: 26).
       Sebagai lokomotif modernitas di Indonesia, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa Islam adalah agama yang sangat menghargai rasio, kebebasan berpikir, kebebasan bertindak, berkreatifitas, dan mendorong ummatnya untuk senantiasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, seorang muslim harus mampu menjadi muslim yang modernis, progresif, rasional, dan non-sektarian (Nurcholish Madjid, 2013: 208).  Modernisasi atau pembaharuan dalam dunia Islam mengandung arti upaya atau aktivitas untuk mengubah kehidupan umat Islam dari keadaan-keadaan yang sedang berlangsung kepada keadaan yang baru yang hendak di wujudkan demi kemaslahatan hidup dan masih dalam garis garis yang tidak melanggar ajaran dasar yang disepakati oleh para ulama Islam.
       Modernisasi dipahami dalam dunia Islam sebagai sebuah fenomena Janus-Faset (berwajah ganda). Hal itu tentunya membawa keuntungan teknologi dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat muslim, tetapi dengan akibat yang berpengaruh luas pada kebudayaan dan nilai-nilai (Fazlur Rahman, 2001: 6).  Fazlur Rahman menilai, beberapa masyarakat dalam menghadapi modernisasi dengan cara yang pragmatis, mengakibatkan keterputusan yang tak terduga dengan tradisi sejarah intelektual. Meskipun banyak pandangan ideologi yang luas diantara sarjana-sarjana muslim modernis pada abad ke-19 dan 20, kebanyakan memiliki keinginan yang sama untuk menyatukan yang sekarang dengan yang dulu dalam cara-cara yang berbeda untuk memelihara beberapa kontinuitas. Ebrahim Moosa dalam kata pengantar buku karya akhir Fazlur Rahman yang berjudul Revival and Reform in Islam menyebutkan: “Kebangkitan dan pembaharuan menjadi tema sentral dalam skema pemikiran Fazlur Rahman. Kategori-kategori tajdid (pembaharuan) dan ijtihad (berpikir bebas) layak menjadi unsur utama di bawah rubrik pemikiran Islam kembali. Perhatian utamanya adalah menyiapkan dasar dari pemikiran kembali tersebut yang secara berangsur-angsur direalisasikan oleh sarana pendidikan. Satu hal yang paling diabaikan dalam reformasi pendidikan menurut pandangan Fazlur Rahman adalah sistem pendidikan tradisional-konservatif para ulama. Kelompok masyarakat muslim ini menolak perubahan yang dihasilkan oleh modernisasi budaya dan intelektual. Rahman berpikir bahwa penolakan itu merugikan masyarakat muslim secara luas karena mengakibatkan dunia muslim tertinggal di belakang masyarakat kontemporer lain yang telah maju di bidang ekonomi, politik dan ilmu pengetahuan. Ulama-ulama yang dicetak dalam sistem pendidikan tradisional, khususnya di dunia Sunni, bahkan mungkin juga di dunia Syi‘ah, tidak ada yang bisa memenuhi fungsi-fungsi yang berkaitan dengan masyarakat atau memberi arahan pada sektor pendidikan modern (Fazlur Rahman, 2001: 9).” 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socrates dan Daimonion-nya

Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya ( Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion -nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat ( Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian: "Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat