Langsung ke konten utama

Jawaban Ibnu Rusyd Terhadap Sanggahan Al-Ghazali Bag 2



Dalam tulisan sebelumnya sudah dijelaskan beberapa point terkait sanggahan yang di lontarkan oleh Al-Ghazali kepada para filosof Muslim yang dianggapnya keliru dan sesat oleh Al-Ghazali. Hal tersebut membuat reaksi yang cukup kuat dari filosof Muslim khususnya Ibnu Rusyd atas pernyataan dari Al-Ghazali tersebut. Sehingga Ibnu Rusyd menjawab sanggahan tersebut yang terdiri dari tiga butir yang diantaranya adalah: Kadimnya alam, Allah tidak mengetahui yang rincian di alam, dan mengenai kebangkitan jasmani di akhirat itu tidak ada. Tulisan sebelumnya sudah menjelaskan dan memaparkan butir pertama mengenai kekadiman alam yang sudah di jawab oleh Ibnu Rusyd, bagian ini saya akan menjelaskan jawaban Ibnu Rusyd terkait butir kedua dan ketiga.

2. Allah Tidak Mengetahui Perincian yang Terjadi di Alam

Menurut Al-Ghazali, para filosof Muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui yang parsial di alam. Dalam menjawab tuduhan ini, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah paham sebab tidak ada para filosof Muslim yang mengatakan demikian. Yang dimaksudnya para filosof Muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat kadim yakni sejak azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedangkan pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk akibat. Demikian juga, menurut Ibnu Rusyd, pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz'i (parsial) dan kully (umum).  Juz'i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan panca indra. Kully, mencangkup berbagai jenis (nu'). Kully bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindra untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof Muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz'i dan kully.
Dari itu jelaslah perbedaan antara Al-Ghazali dan para filosof Muslim tentang ilmu Allah. Al-Ghazali terkesan menyamakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedangkan para filosof Muslim terkesan membedakan antara ilmu Allah dengan ilmu manusia. Namun, pada dasarnya mereka sependapat bahwa Allah maha mengetahui (parsial dan umum) segala yang terjadi di alam ini, namun mereka berbeda tentang cara Allah mengetahui. 

3. Kebangkitan Jasmani di Akhirat

Menurut Ibnu Rusyd sanggahan Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim, tentang kebangkitan jasmani di akhirat  tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan demikia. Semua agama, tegas Ibnu Rusyd, mengakui adanya hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani dan ada pula yang mengatakan rohani dan jasmani. Namun yang jelas, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. Hal ini sesuai dengan hadish: "Di sana akan dijumpai apa yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah di dengar telinga dan tak pernah terlintas dalam pikiran", dan ucapan Ibnu Abbas: "Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersifat keduniaan kecuali nama saja." Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi daripada hidup di dunia.

Namun demikian, Ibnu Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang buruk. Menurut Ibnu Rusyd, sikap Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, saling bertentangan dengan ucapannya sendiri. Dalam buku Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengatakan tidak ada seorang Muslim pun yang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Akan tetapi, dalam bukunya mengenai tasawuf, ia mengemukakan bahwa pendapat kaum sufi yang ada nanti hanya kebangkitan rohani.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dengan par filosof Muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran dasar dalam Islam, bukan perbedaan antara menerima atau menolak ajaran dasar tersebut. Dengan arti hanya perbedaan ijhtihad antara Al-Ghazali dan para filosof Muslim, atau dengan kata lain, perbedaan otak antara satu orang Muslim dengan otak seorang Muslim lain dalam memahami ayat-ayat tentang kebangkitan di akhirat. Hal ini lumrah terjadi di kalangan ulama Islam. Perbedaan seperti ini tidak akan membawa pada kekafiran. Lebih lanjut Ibnu Rusyd menekankan hadish Rasulullah Saw: "Siapa yang benar dalam berijhtihad di bidangnya ia mendapat dua pahala dan siapa yang salah dalam ijhtihadnya ia mendapat satu pahala."

Dengan demikian menurut Ibnu Rusyd, tuduhan kafir yang dilontarkan Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim dalam tiga butir masalah di atas tidak pada tempatnya. Kendatipun diandaikan interpretasi mereka keliru, namun kesalahan mereka termasuk kesalahan ijhtihad yang bisa dimaafkan. Jika tuduhan dilontarkan kepada filosof Muslim melanggar ijma', maka dalam pemikiran tidak terjadi ijma' ulama secara pasti.

Terlepas dari hal di atas, agaknya polemik antara Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali ini dapat kita artikan permusuhan orang-orang mukmin, dengan arti kesamaan pendapat antara mereka.

Rujukan:

1. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2014)
2. Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Tahkik Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1971), hlm. 711. (Selanjutnya disebut Ibnu Rusyd, Tahafut)
3. Ibid., hlm.700
4. Ibid., hlm.702-703
5. Ibid., hlm.864
6. Ibid., hlm.866
7. Ibid., hlm.873-874
8. Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal wa Taqrir Bayin al-Syari'ah wa al-Hikmat min al-Ittishal, Tahkik Muhammad Immarat, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1972), hlm.44
9. Ibid., hlm. 36-37
10. Harun Nasution, Fassafah dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 47. (Selanjutnya disebut Harun Nasution, Misticisme).


Komentar

  1. Sip mantaaaaaap.....mencerahkan. Begitulah yg ditampakkan 2 filosof yg bijaksana pemikiran dilawan pemikiran tukisan dibantah dgn tulisan, fair dan adil

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang sangat menarik jika kita kembali lagi mengulang dan mengupas pemikiran2 para pemikir muslim karena zaman skarang sangat minim peminat hal itu dikalangan akademisi maupun masyarakat umum.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socrates dan Daimonion-nya

Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya ( Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion -nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat ( Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian: "Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat