Dalam tulisan sebelumnya sudah dijelaskan beberapa point terkait sanggahan yang di lontarkan oleh Al-Ghazali kepada para filosof Muslim yang dianggapnya keliru dan sesat oleh Al-Ghazali. Hal tersebut membuat reaksi yang cukup kuat dari filosof Muslim khususnya Ibnu Rusyd atas pernyataan dari Al-Ghazali tersebut. Sehingga Ibnu Rusyd menjawab sanggahan tersebut yang terdiri dari tiga butir yang diantaranya adalah: Kadimnya alam, Allah tidak mengetahui yang rincian di alam, dan mengenai kebangkitan jasmani di akhirat itu tidak ada. Tulisan sebelumnya sudah menjelaskan dan memaparkan butir pertama mengenai kekadiman alam yang sudah di jawab oleh Ibnu Rusyd, bagian ini saya akan menjelaskan jawaban Ibnu Rusyd terkait butir kedua dan ketiga.
2. Allah Tidak Mengetahui Perincian yang Terjadi di Alam
Menurut Al-Ghazali, para filosof Muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui yang parsial di alam. Dalam menjawab tuduhan ini, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah paham sebab tidak ada para filosof Muslim yang mengatakan demikian. Yang dimaksudnya para filosof Muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat kadim yakni sejak azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedangkan pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk akibat. Demikian juga, menurut Ibnu Rusyd, pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz'i (parsial) dan kully (umum). Juz'i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan panca indra. Kully, mencangkup berbagai jenis (nu'). Kully bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindra untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof Muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz'i dan kully.
Dari itu jelaslah perbedaan antara Al-Ghazali dan para filosof Muslim tentang ilmu Allah. Al-Ghazali terkesan menyamakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedangkan para filosof Muslim terkesan membedakan antara ilmu Allah dengan ilmu manusia. Namun, pada dasarnya mereka sependapat bahwa Allah maha mengetahui (parsial dan umum) segala yang terjadi di alam ini, namun mereka berbeda tentang cara Allah mengetahui.
3. Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Menurut Ibnu Rusyd sanggahan Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim, tentang kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan demikia. Semua agama, tegas Ibnu Rusyd, mengakui adanya hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani dan ada pula yang mengatakan rohani dan jasmani. Namun yang jelas, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. Hal ini sesuai dengan hadish: "Di sana akan dijumpai apa yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah di dengar telinga dan tak pernah terlintas dalam pikiran", dan ucapan Ibnu Abbas: "Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersifat keduniaan kecuali nama saja." Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi daripada hidup di dunia.
Namun demikian, Ibnu Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang buruk. Menurut Ibnu Rusyd, sikap Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, saling bertentangan dengan ucapannya sendiri. Dalam buku Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengatakan tidak ada seorang Muslim pun yang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Akan tetapi, dalam bukunya mengenai tasawuf, ia mengemukakan bahwa pendapat kaum sufi yang ada nanti hanya kebangkitan rohani.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dengan par filosof Muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran dasar dalam Islam, bukan perbedaan antara menerima atau menolak ajaran dasar tersebut. Dengan arti hanya perbedaan ijhtihad antara Al-Ghazali dan para filosof Muslim, atau dengan kata lain, perbedaan otak antara satu orang Muslim dengan otak seorang Muslim lain dalam memahami ayat-ayat tentang kebangkitan di akhirat. Hal ini lumrah terjadi di kalangan ulama Islam. Perbedaan seperti ini tidak akan membawa pada kekafiran. Lebih lanjut Ibnu Rusyd menekankan hadish Rasulullah Saw: "Siapa yang benar dalam berijhtihad di bidangnya ia mendapat dua pahala dan siapa yang salah dalam ijhtihadnya ia mendapat satu pahala."
Dengan demikian menurut Ibnu Rusyd, tuduhan kafir yang dilontarkan Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim dalam tiga butir masalah di atas tidak pada tempatnya. Kendatipun diandaikan interpretasi mereka keliru, namun kesalahan mereka termasuk kesalahan ijhtihad yang bisa dimaafkan. Jika tuduhan dilontarkan kepada filosof Muslim melanggar ijma', maka dalam pemikiran tidak terjadi ijma' ulama secara pasti.
Terlepas dari hal di atas, agaknya polemik antara Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali ini dapat kita artikan permusuhan orang-orang mukmin, dengan arti kesamaan pendapat antara mereka.
Rujukan:
1. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2014)
2. Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Tahkik Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1971), hlm. 711. (Selanjutnya disebut Ibnu Rusyd, Tahafut)
3. Ibid., hlm.700
4. Ibid., hlm.702-703
5. Ibid., hlm.864
6. Ibid., hlm.866
7. Ibid., hlm.873-874
8. Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal wa Taqrir Bayin al-Syari'ah wa al-Hikmat min al-Ittishal, Tahkik Muhammad Immarat, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1972), hlm.44
9. Ibid., hlm. 36-37
10. Harun Nasution, Fassafah dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 47. (Selanjutnya disebut Harun Nasution, Misticisme).
Namun demikian, Ibnu Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang buruk. Menurut Ibnu Rusyd, sikap Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, saling bertentangan dengan ucapannya sendiri. Dalam buku Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengatakan tidak ada seorang Muslim pun yang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Akan tetapi, dalam bukunya mengenai tasawuf, ia mengemukakan bahwa pendapat kaum sufi yang ada nanti hanya kebangkitan rohani.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dengan par filosof Muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran dasar dalam Islam, bukan perbedaan antara menerima atau menolak ajaran dasar tersebut. Dengan arti hanya perbedaan ijhtihad antara Al-Ghazali dan para filosof Muslim, atau dengan kata lain, perbedaan otak antara satu orang Muslim dengan otak seorang Muslim lain dalam memahami ayat-ayat tentang kebangkitan di akhirat. Hal ini lumrah terjadi di kalangan ulama Islam. Perbedaan seperti ini tidak akan membawa pada kekafiran. Lebih lanjut Ibnu Rusyd menekankan hadish Rasulullah Saw: "Siapa yang benar dalam berijhtihad di bidangnya ia mendapat dua pahala dan siapa yang salah dalam ijhtihadnya ia mendapat satu pahala."
Dengan demikian menurut Ibnu Rusyd, tuduhan kafir yang dilontarkan Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim dalam tiga butir masalah di atas tidak pada tempatnya. Kendatipun diandaikan interpretasi mereka keliru, namun kesalahan mereka termasuk kesalahan ijhtihad yang bisa dimaafkan. Jika tuduhan dilontarkan kepada filosof Muslim melanggar ijma', maka dalam pemikiran tidak terjadi ijma' ulama secara pasti.
Terlepas dari hal di atas, agaknya polemik antara Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali ini dapat kita artikan permusuhan orang-orang mukmin, dengan arti kesamaan pendapat antara mereka.
Rujukan:
1. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2014)
2. Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Tahkik Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1971), hlm. 711. (Selanjutnya disebut Ibnu Rusyd, Tahafut)
3. Ibid., hlm.700
4. Ibid., hlm.702-703
5. Ibid., hlm.864
6. Ibid., hlm.866
7. Ibid., hlm.873-874
8. Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal wa Taqrir Bayin al-Syari'ah wa al-Hikmat min al-Ittishal, Tahkik Muhammad Immarat, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1972), hlm.44
9. Ibid., hlm. 36-37
10. Harun Nasution, Fassafah dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 47. (Selanjutnya disebut Harun Nasution, Misticisme).
Sip mantaaaaaap.....mencerahkan. Begitulah yg ditampakkan 2 filosof yg bijaksana pemikiran dilawan pemikiran tukisan dibantah dgn tulisan, fair dan adil
BalasHapusMemang sangat menarik jika kita kembali lagi mengulang dan mengupas pemikiran2 para pemikir muslim karena zaman skarang sangat minim peminat hal itu dikalangan akademisi maupun masyarakat umum.
Hapus