Setiap tahun umat Muslim selalu merayakan yaum an-nahr atau dikenal dengan Idul Adha. Hari Penyembelihan ini memiliki keterkaitan sejarah yang cukup membumi, menjadi sebuah ritual seluruh umat manusia sejak zaman agama pagan yang mempersembahkan atau mengurbankan hewan demi sesembahannya yang diyakininya.
Hari Raya Idul Adha kerapkali menyisakan pertanyaan mendasar tentang siapa yang menjadi sosok yang paling benar dikurbankan. Apakah Ismail sebagaimana yang diakui oleh umat Islam atau Ishak yang diakui oleh umat Yahudi dan Kristen? Pertanyaan seperti ini sering kali diperdebatkan dikarenakan posisinya sangat penting untuk diakui sebagai sumber keteladanan pengorbanan.
Setidaknya ketika seseorang hendak berkurban melalui hewan, pasti yang ada teringat dalam imajinasinya adalah untuk meneladani spirit pengorbanan yang dilakukan Ibrahim.
Sebenarnya kalau kita lihat dalam konteks Al-Quran sendiri sesungguhnya tidak menyebut secara eksplisit identitas anak yang dikorbankan oleh Ibrahim, apakah itu Ismail atau Ishak. Memang para mufassir modern berasumsi bahwa yang dikorbankan oleh Ibrahim adalah Ismail meskipun sumber-sumber tafsir awal mengindikasikan adanya perbedaan pendapat soal anak yang dikorbankan tersebut.
Jika dilihat dari sumber-sumber Yahudi dan Kristen seperti yang tertuang dalam kitab Torah/Taurat di Kejadian pasal 22 ayat 2, disana dijelaskan secara eksplisit bahwa anak yang dikorbankan oleh Ibrahim adalah Ishak yang sudah secara detail dikomentari dalam sumber-sumber Yahudi seperti Talmud.
Berbeda dengan Torah/Taurat, Al-Quran tidak menyuguhkan kisah Ibrahim dengan anak yang dikorbankannya tersebut secara detail sehingga memunculkan beragam tafsir khususnya di kalangan Muslim awal yang lebih cenderung merujuk kepada Ishak sebagai anak yang dikorbankan Ibrahim bukan Ismail. Salah satu contoh Mufassir awal Muqatil b. Sulaiman (w. 150/767) yang secara tegas dan jelas menyebutkan bahwa Ishak lah anak yang dikorbankan tersebut.
Menurut Mun’im Sirry dalam bukunya Islam Revisionis hal. 110, bahwa hingga abad kesepuluh (atau keempat Hijriyah) jumlah riwayat yang pro-Ishak dan pro-Ismail masih berimbang. Beliau memberikan contoh dalam tafsir al-Tabari (w. 310/923), yang merekam beragam pendapat ulama terdahulu. Dalam magnum opusnya, Jami’ al-Bayan fi Ta-wil Ay al-Qur’an, Tabari mencatat 17 riwayat yang mengidentifikasi Ishak sebagai korban. Dari sekian riwayat tersebut, misalnya, terdapat pernyataan para Sahabat dan Tabi’in yang menyebut “al-dzabih huwa Ishaq” (yang disembelih ialah Ishak). Tetapi disisi lain Mun’im Sirry menyebutkan bahwa Tabari juga menyebutkan ada 24 riwayat yang pro-Ismail, termasuk yang dinisbatkan pada Nabi Muhammad. Yang menarik menurut beliau ialah Tabari sendiri memilih pendapat yang mengakui Ishak sebagai korban. Ia memulai pendapatnya dengan kalimat “awla al-qaulain bi al-shawab” (pendapat yang paling mendekati kebenaran di antara keduanya). Pertimbangan Tabari semata didasarkan pada makna tekstual dari Al-Qur’an (‘ala dhahir al-tanzil). Baru pada masa Ibnu Taimiyah (w. 726/1328) dan dikukuhkan oleh muridnya Ibnu Katsir (w. 774/1373), pada abad keempat-belas, identifikasi korban sebagai Ismail mendapat pengakuan luas dan diakui hingga sekarang oleh kaum Muslim. Kemudian di tangan Ibnu Katsir pandangan pro-Ismail dipromosikan sebagai paham ortodoksi. Pendapat yang berbeda dituduh “kidzb wa buhtan” (bohong dan dusta).
Terlepas dari perbedaan-perbedaan tafsir dikalangan Islam sendiri, kedua sosok anak Ibrahim ini tetap merupakan figur yang penting. Dalam agama Yahudi dan Kristen, sosok Ishak merupakan sebuah figur penting yang darinya lahir nabi-nabi dan sampai dia diagungkan melebihi saudara-saudaranya seperti Ismail dan anak-anak dari Ketura yang merupakan istri ketiga dari Ibrahim yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Sebaliknya, dari pihak Islam lebih menonjolkan sosok Ismail yang dijadikan sebuah figur meskipun keberadaan Ismail di dalam Al-Quran tidak terlalu signifikan terkecuali bahwa Ismail adalah satu-satunya anak yang membantu Ibrahim membangun Ka’bah.
Daripada itu, yang terpenting bukan siapa yang dikorbankan karena toh tidak ada satupun anak yang dikorbankan Ibrahim, melainkan hanya seekor domba yang di korbankan. Tapi pelajaran yang bisa diambil adalah bagaimana dari kisah ini bisa menjadi contoh dan teladan bagi kita yaitu bagaimana keimanan Ibrahim kepada Allah tidak pernah berkurang sedikitpun meskipun dia diperintahkan untuk mengorbankan anaknya.
Komentar
Posting Komentar