Langsung ke konten utama

Nietzsche "Warta Kematian Tuhan"


Tulisan ini akan saya awali dengan potongan terakhir tulisan Nietzsche La Gaya Scienza-GS 344 tentang kebutuhan untuk percaya dalam sains berbicara tentang situasi peradaban Nietzsche dan masa depannya:

"Tetapi lalu harus bilang apa, jika itu semua semakin lama semakin terdiskreditkan, jika semuanya ternyatakan sebagai tidak ilahi, jika itu semua adalah kesalahan, kebutaan, kebohongan dan jika Tuhan itu sendiri ternyatakan sebagai kebohongan kita yang paling awet?"

Seandainya selama ini apa yang dipercaya ternyata tidak bisa di percaya lagi, apa yang akan terjadi? Dengan pertanyaan ini bukan berarti bahwa 'isi kepercayaan' adalah salah. Kesalahan seperti itu pun terbukti berguna bagi kehidupan sebagaimana obat. Konteks lebih luar menunjukkan bahwa soalnya bukan pada isi kepercayaan itu sendiri yang salah, melainkan cara penghendakan atasnya secara mati-matian yang harus dikoreksi. Ini sama dengan pernyataan Nietzsche di tempat lain tentang kebenaran sebagai ilusi yang dilupakan bahwa ia ilusi. Kebenaran qua kebenaran tetap disana. Manakala selubugn ilusifnya di singkap, maka akan kelihatan bahwa masih ada sesuatu yang lain. Sayang, manusia terjebak dalam kelezatan ilusi sehingga justru mengekalkan ilusi tersebut sebagai kebenaran ultima. Toh, ia lezat dan terbukti berguna bagi kehidupan. Bukankah tidak salah bila akhirnya disadari bahwa ilusi adalah ibu kebenaran? Maksudnya, justru lewat perjalanan mengarungi ilusi satu ke ilusi lainnya manusia beranjak sedikit demi sedikit menyadari kehadiran sang kebenaran itu sendiri, bukan maksudnya lalu membuang begitu saja ilusi, dan jatuh dalam ilusi lain seolah-olah kebenaran tidak ada. Point-nya adalah melanjutkan perjalanan perziarahan dengan kesadaran yang lebih mendalam dan tajam.

Bersama Nietzsche, realitas seadanya disadari sebagai pluralitas kaotis yang selalu hanya menampakkan dirinya lewat selubung-selubung ilusif belaka. Selubung permukaan itu perlu dan diperlukan bagi kehidupan, hanya, yang harus diwaspadai adalah fiksasi pada selubung itu sendiri. Artinya, juga di tuntut untuk tidak jatuh dalam fiksasi lain seolah-olah apa yang di balik selubung tidak ada. Manusia musafir selalu butuh perhentian sementara, selubung-selubung untuk di pegang. Tetapi ia tidak di undang untuk berhenti di titik tersebut, ia di undang untuk berjalan. Dan di situlah keberanian dan kekuatan dituntut. Manusia musafir akan senang bila berhasil menebak enigma realitas, dan dari dirinya sendiri ia tidak akan terfiksasi dengan hasil tebakannya yang bersifat sementara. Realitas enigmatis selalu menunggu di depannya, dan tinggal keberanian dia sajalah untuk menentukan apakah ia berpuas diri dengan hasil sementara ataukah selalu berjalan mengarungi ketidakpastian.

Bila ide peziarahan mungkin tampak terlalu rohani bagi seorang Nietzsche, barangkali ide perlombaan homerik bisa membahasakannya. Dalam pertandingan homerik yang mengadu kekuatan, para peserta bertanding tidak untuk mencari hadiah. Hadiah pada dirinya sendiri hanyalah perhentian sementara, kupuasan euforis yang tidak perlu dibesar-besarkan. Dalam bertanding, yang penting adalah bermain. Mereka mengasah kekuatan, mengukur tenaga, memperkuat diri agar selalu bisa melampaui kemampuannya yang terdahulu. Ia ikut bermain perlombaan bukan karena hadiah, apalagi karena benci pada lawannya. Ia bertanding karena energinya berlimpah, dan pengasahan keberlimpahan itu sendirilah yang mendorongnya untuk masuk dalam permainan dengan kepolosan seorang bayi.

Warta Kematian Tuhan

"Tuhan sudah mati" (bahasa Jeman: "Gott Ist Tot") adalah sebuah ungkapan yang banyak dikutip dari Friedrich Nietzsche. Ungkapan ini pertama kali muncul dalam The Gay Science, seksi 108 (New Struggles), dalam seksi 125 (The Madman), dan untuk ketiga kalinya dalam seksi 343 (The Meaning of Our Cheerfulness). Juga muncul dalam buku klasik Nietzsche Also Sprach Zarathustra. 'The Madman' dinyatakan sebagai berikut:

Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati diujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya kita? Dengan air apa kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, apa perlu permainan-permainan suci yang perlu kita ciptakan? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuh Tuhan]?

Dalam konteks ini, "Tuhan sudah mati" tidak boleh ditanggapi secara harfiah, bahwa "Tuhan kini secara fisik sudah mati"; atau sebaliknya, inilah cara Nietzsche mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Nietzsche mengakui krisis yang diwakili oleh kematian Tuhan bagi pertimbangan-pertimbangan moral yang ada, karena "Ketika seseorang melepaskan iman Kristen, ia mencabut hak terhadap moralitas Kristen dari bawah kakinya. Moralitas ini sama sekali tidak terbukti dengan sendirinya. Dengan menghancurkan sebuah konsep utama dari kekristenan, iman kepada Tuhan, orang menghancurkan keseluruhannya: tak ada suatu pun yang tinggal di tangannya." Inilah sebabnya mengapa di dalam The Madman  si orang gila berbicara bukannya kepada orang, melainkan kepada kaum atheis, masalahnya ialah bagaimana mempertahankan sistem nilai apa pun di tengah ketiadaan tatanan ilahi.

Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu mempercayai tatanan kosmis apa pun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik, tetapi juga kepada penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri kepada penolakan terhadap keyakinan akan sesuatu hukum moral yang objektif dan universal, yang mengikat semua individu. Cara ini membawa pada nihilisme, dan inilah yang diusahakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berarti mencari dasar-dasar yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.

Keberatan Nietzsche terhadap agama Kristen ini adalah keberatan terhadap ajaran yang menyebabkan diterimanya apa yang ia sebut "moralitas budak". Ada keanehan bila kita amati pertentangan tajam antara argumennya dan argumen filsuf-filsuf Perancis pra-Revolusi. Mereka berpendapat bahwa dogma-dogma Kristen tidak benar; bahwa agama Kristen mengajarkan penyerahan kepada apa yang dinilai sebagai kehendak Tuhan, sedangkan manusia yang menghargai dirinya sendiri jangan bertekuk lutut di hadapan kekuasaan yang lebih tinggi; dan bahwa gereja-gereja Kristen telah menjadi kebohongan para tiran, dan membantu musuh demokrasi untuk menolak kebebasan dan terus menggencet orang-orang miskin. Nietzsche tidak tertarik terhadap kebenaran metafisis atau agama Kristen, ataupun agama apa saja; dengan yakin bahwa tidak ada agama yang sungguh-sungguh benar, ia menimbang semua agama seluruhnya dengan efek sosialnya. Ia sepakat dengan filsuf-filsuf yang menolak penyerahan diri kepada apa yang diduga sebagai kehendak Tuhan, tetapi ia menggantinya dengan kehendak "seniman-tiran" yang membumi.

Dalam konteks seperti itulah Tuhan sebagai isi kepercayaan dilihat Nietzsche sudah mati. Dan juga kritik Nietzsche kepada idee fixe mendaptakan ujud paling hingar bingar dalam aforisme terkenal GS 125 tentang kematian Tuhan. Fenomen Ateisme yang sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala, jauh sebelum Nietzsche lahir, misalnya sudah ada pada zaman Yunani dan secara simplistik lalu diasalkan kepada Nietzsche. Orang tidak percaya kepada Tuhan, atau pada dewa dewi ilahi senantiasa ada disepanjang zaman. Jadi, soalnya sekali lagi memang bukan 'isi kepercayaan'. Kalau mengenai hal itu, banyak pemikiran lain sebelum dan sezaman dengan Nietzsche yang juga mengatakan hal sepereti itu.  Jika Nietzsche membawa sesuatu yang baru, itu karena ia berhasil mengajak kita semua termenung. Nietzsche tidak mengatakan bahwa "Aku telah membunuh Tuhan", melainkan "Kita telah membunuh-Nya". Itulah yang baru! Ia melihat zamannya dan peradaban Eropa, ia merefleksikannya, dan akhirnya ia mengatakan bahwa sejarah zamannya adalah pembunuh Tuhan, zaman hilangnya orientasi, peradaban nihilistik. Nietzsche sebenarnya tidak asal menuduh hal itu. Kritiknya tentang idee fixe dan  kebutuhan untuk percaya yang menjadi landasan kokoh bagi pernyataan provokatif tentang kematian Tuhan tersebut.

Inilah yang yang akan dibuat dalam membaca aforisme Nietzsche tentang kematian Tuhan. Posisi yang ditawarkan Nietzsche dalam segala hal adalah mengambil jarak dan waspada, bersikap iya sekaligus tidak. Itulah yang akan dilihat dalam tesis Nietzsche tentang kematian Tuhan yang subtil. Sebagaimana realitas apa adanya harus diterima secara apa adanya, maka kematian Tuhan pun dalam bangunan filsafat Nietzsche merupakan bagian dari realitas yang harus dihadapi secara apa adanya. Bukan dengan duka cta, murung, dan sia-sia, bukan pula dengan perayaan anarkis akan kebebasan semu, melainkan meniti di antara keduanya dengan penuh waspada. Nietzsche yang sekaligus dekaden dan antidekaden, modern dan anti modern, sekarang berhadapan dengan problem zamanya yang ateistik. Ia akan menjadi ateis sekaligus antiateis. Dan dari posisi ini akan mengajak kita untuk melampauinya.

Sebagai penutup, saya akan mengutipkan teks terkenal Nietzsche La Gaya Science buku ketiga 125:

"Si orang sinting. Pernahkan kalian mendengar kisah tentang orang sinting, yang menyalakan lentera pada siang hari bolong, berlarian ke pasar dan berteriak-teriak tanpa henti 'Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!'. Dan karena persis disana terkumpul banyak orang yang tidak percaya pada Tuhan, orang sinting itu mengakibatkan gelak tawa yang meriah. Apakah kita kehilangan Tuhan?, kata yang satu. Apakah Tuhan tersesat seperti anak kecil?, kata yang lainnya lagi. Atau dia bersembunyi entah dimana? Apa dia takut sama kita? Apakah dia sudah pergi? Apakah dia sudah beremigrasi?, demikianlah mereka berteriak-teriak dan tertawa-tawa sekaligus. Orang sinting itu segera mendatangi orang-orang tersebut dan memandang tajam, mereka 'Dimana Tuhan?, aku akan mengatakannya kepada kalian. Kira telah membunuhnya-kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuh-pembunuhnya. Tetapi, bagaimana mungkin kita telah melakukannya? Bagaimana mungkin kita telah mengosongkan lautan? Siapa yang telah memberikan kepada kita spon untuk menghapus seluruh horison? Apa yang telah kita perbuat dengan melepaskan bumi ini dari matahari?Ke mana bumi ini sekarang berputar? Kemana gerak bumi ini membawa kita sekarang? Jauh dari segala matahari-matahari? Tidakkah kita terperosok dalam kejatuhan tanpa henti? Terperosok ke belakang, ke samping, ke depan, ke berbagai arah manapun? Apakah masih ada yang namanya atas atau bawah? Tidakkah kita sekarang menyasar-nyasar melewati kekosongan tanpa batas? Tidakkan kita rasakan embusan kekosongan? Bukankah rasanya lebih dingin? Tidakkah rasanya menjadi malam, dan semakin lama semakin malam? Tidak perlukah menyalakan lentera-lentera sejak pagi hari? Apakah kita semua tidak mendengar suara penggali kubur yang telah memakamkan Tuhan? Apakah kita sama sekali tidak menghirup bau pembusukan ilahi?-Tuhan-Tuhan pun membusuk! Tuhan telah mati!Tuhan tetap mati! Dan kitalah yang telah membunuhnya! Bagaimana kita menghibur diri kita, pembunuh dari para pembunuh? Apa yang paling kudus dan paling berkuasa yang dimiliki oleh dunia telah kehilangan darahnya di bilah pisau kita, siapa yang akan membersihkan darah itu dari tangan kita? Air macam apakah yang akan bisa membersihkan kita? Penebusan agung macam apa, lomba suci macam apa yang harus diciptakan untuk menebusnya? Tidakkah kedahsyatan tindakan ini terlalu besar bagi kita? Tidak haruskah kita sendiri menjadi Tuhan-Tuhan untuk bisa layak atas tindakan terebut? Tidak ada tindakan lebih besar dari itu, dan siapapun yang lahir setelah kita, berkat tindakan kita akan masuk dalam sebuah sejarah yang superior, lebih superior dari segala sejarah yang sudah ada sampai saat itu! Sampai disini si orang sinting diam, menimbang-nimbang kembali para pendengarnya: mereka juga diam dan memandangnya tanpa mengerti. Akhirnya, si orang sinting melempar lenteranya ke tanah sehingga pecah dan padam. 'Aku datang terlalu awal, katanya kemudian, waktuku belum tiba. Kejadian dahsyat itu sedang berjalan, dan dalam perjalanan. Ia belum sampai ke telinga manusia-manusia. Sambaran gledek dan suara guruh membutuhkan waktu, cahaya bintang-bintang membutuhkan waktu, tindakan-tindakan pun kalau itu sudah dilakukan, membutuhkan waktu untuk terlihat dan terdengar. Tindakan itu masih jauh dari mereka, lebih jauh daripada bintang-bintang yang paling jauh, dan meskipun begitu, merekalah yang telah melakukannya! Masih diceritakan lagi pada hari yang sama si orang sinting itu masuk dalam gereja yang berbeda-beda dimana dia mulai menyanyi-nyanyikan lagu Requiem aeternam (istirahat kekal Tuhan). Ketika dilemparkan keluar dan harus menjelaskan, tanpa henti-hentinya dia mulai lagi: 'Gereja-gereja itu apa sih, kalau bukan rongga-rongga dan kuburan-kuburan Tuhan?'''

Rujukan:

1. Nietzsche, The Gay Science, seksi 125; diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Walter Kaufmann dan Kaufmann, Walter. Nietzsche, Philosopher, Psychologist, Antichrist (Princeton: Princeton University Press, 1974)
2. Nietzsche, La Gaya Scienza-GS 344, kebutuhan untuk percaya
3. Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno hingga sekarang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hlm. 995
4. Ali Maksum, Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), hlm. 146-148
5. A.Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), hlm. 329-331
6. Varian teks "yang" dari M III, 4, 156: "pada suatu hari [Zarathoustra] menyalakan"
7. Varian teks untuk "mendatangi" dan "teriaknya" dari M III, 4: "Zarathoustra" dan "[Zarathoustra]"
8. Varian teks untuk "matahari": Dan tanpa garis dan titik tumpu itu, akan menjadi apakah seluruh arsitektur kita? Apakah rumah-rumah kita akan bisana tahan berdiri secara solid nantinya? Apakah kita sendiri masih bisa berdiri? (ujian-ujian yang pertama)"
9. Teks Varian untuk "Tuhan" dari M III 5, 10: "Bukankah kita menyasar-nyasar.......,
10. "http://id.wikipedia.org./wiki/Tuhan_sudah_mati"



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socrates dan Daimonion-nya

Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya ( Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion -nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat ( Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian: "Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat