Langsung ke konten utama

Polemik Dunia Idea Platon 2


Tulisan berikut adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang membahas mengenai Polemik Dunia Idea Platon. Dalam tulisan sebelumnya, menjelaskan bahwa di dalam buku-buku filsafat yang tersebar di Indonesia banyak sekali yang mengatakan bahwa Platon telah mengadvokasi teori dunia inderawi versus dunia idea, sehingga banyak sekali yang beranggapan dan menafsirkan bahwa Platon sebagai pengusung teori tentang "dunia idea". Dan bersamaan dengan itu, Platon dianggap sebagai pelopor dualisme: dunia kita (dunia iderawi) diperlawankan dengan dunia idea (dimana di sana ada kursi ideal, ada kuda ideal, dan semua yang bagus-bagus bak surga khayalan kita).

Dalam teks Mohamad Hatta dalam buku (Alam Pikiran Yunani) yang ditulis di pembuangan (Banda Neira, 1941) memberikan uraian jelas tentang pemikiran Platon yang mengetengahkan dua dunia. 

"Dunia yang bertubuh adalah dunia yang dapat diketahui dengan pandangan pengalaman (pen: opini/ doxa). Dalam dunia itu semuanya bergerak dan berubah senantiasa, tidak ada yang tetap dan kekal. Dari pandangan dan pengalaman saja tidak akan pernah tercapai pengetahuan pengertian (pen: episteme). Berhadapan dengan itu terdapat dunia yang tidak bertubuh daripada idea, yang lebih tinggi tingkatnya dan yang menjadi objek dari pengetahuan pengertian. Apabila pengertian yang dituju itu memperoleh bentuknya yang tepat, ia tidak berubah-ubah lagi dan bertempat di dalam dunia idea. Idea itulah yang melahirkan pengetahuan yang sebenarnya."

Pemaparan tentang dua dunia (semacam ontologi) selalu berkaitan dengan teori pengetahuan (epistemologi) dan otomatis akan berhubungan dengan pemahaman tertentu tentang relasi jiwa dan tubuh manusia (psikologi). Dan kaitan seperti itu tampak dalam tafsir dua dunia terhadap Platon. Di era 40-an dan 60-an, Driyarkara menerangkan pemikiran Platon sebagai berikut:

"(....) jadi menurut Platon ada dunia realitas, yang di sebut idea atau rupa. Dunia ini terpisah dari dunia yang di tangkap dengan pancaindera ini. (....) teranglah kesimpulannya bahwa diluar dunia ini, lepas dan terpisah dari dunia ini, haruslah ada dunia lain, yaitu dunia rohani, dunia dimana idea-idea itu berdiri sendiri sebagai realitas dan kesempurnaan yang sepenuhnya, dengan kesempurnaan yang tidak terbatas (....) dunia kita ini hanya dapat dimengerti karena berupa partisipasi, bahwa kesempurnaannya itu berupa 'pinjaman', berupa 'terimaan'. Jadi dalam pandangan Platon, dunia yang kekal abadi, dunia rohani, dunia idea-idea itu merupakan turutan asli dunia yang kita alami dengan pancaindera kita ini. Dunia ini harus diterangkan dengan dunia yang lain itu."

Buku Kees Bertens (Sejarah Filsafat Yunani) yang banyak dirujuk dan telah dicetak ulang 15 kali menyatakan hal yang mirip. Teori idea ini dijelaskan Bertens memakai contoh segitiga ideal:

"Segitiga yang tergambar pada papan tulis tidak mewujudkan segitiga yang sempurna. Mengapa tidak? Pertama-tama, karena sisi-sisinya tidak dapat digambarkan lurus secara eksakta. Berikutnya karena sisi-sisi segitiga yang tergambar itu mempunyai kepanjangan tertentu (25 CM, misalnya saja), sedangkan sisi-sisi segitiga yang sempurna tidak mempunyai kepanjangan tertentu. Kalau ilmu pasti berbicara bukan tentang segitiga-segitiga yang konkret, melainkan hanya tentang segitiga yang ideal, maka Platon menarik kesimpulan bahwa segitiga seperti itu mempunyai realitas juga, biarpun tidak dapat ditangkap oleh pancaidera (....) jadi, mesti terdapat suatu ide 'segitiga'. Segitiga-segitiga yang digambarkan pada papan tulis hanya merupakan tiruan tak sempurna saja dari ide 'segitiga')"

Terhadap pemaparan seperti itu, kita bisa bertanya: apabila segitiga-segitiga di dunia ini hanya tiruan dari segitiga ideal, apakah segitiga ideal itu juga masih bersegitiga? Pertanyaan ini konyol, namun perlu diungkapkan untuk melihat sejauh mana penjelasan tentang 《segitiga ideal》 bisa dipikirkan dan masuk akal. Dalam banyak teks lain di Indonesia, seturut teori dua dunia ini, kadang diberi contoh juga tentang 《singa ideal》 atau 《manusia ideal》. Dan menjadi pertanyaan kita: apakah singa idel memiliki suara dan taring, apakah manusia berkepala dan kaki juga? Dalam beberapa buku-buku yang relatif baru, penjelasan tentang pemikiran Platon masih berkisar di teori dua dunia, idealisme dan dualisme.

Dalam pemahaman seperti itu, maka dunia idea seolah-olah sesuatu yang benar-benar terpisah dari dunia kita, dimana kuda ideal benar-benar paling ideal, paling sempurna, dan merupakan kuda terpenting dibandingkan segala kuda inderawi yang ada di dunia kita. Bahkan dengan berani dinyatakan bahwa kuda ideal adalah asal usul bagi kuda-kuda inderawi yang ilusif di dunia inderawi kita. Dengan kata lain, dalam bahasa filsafat, hanya kuda ideal yang eksis, yang ada seada-adanya. Sementara berbagai macam kuda inderawi di dunia ini bisa dikatakan ilusi belaka (penampakan yang tidak memiliki eksistensi, tanpa kejelasan apapun, seperti buih sabun yang tampak ada tetapi hampa). Dalam kerangka seperti itu kemudian Platon secara anakronis dimasukkan dalam kandang idealisme (bahwa pikiran manusia menjadi landasan terdasar realitas) diperlawankan dengan Aristoteles yang realis (karena realitas di luar diri kita merupakan basis pengetahuan). Padahal sudah sejak sangat lama Driyarkara memperingatkan untuk tidak jatuh dalam kesalahan dengan menyatakan Platon sebagai pemikir idealis. Driyakara menulis:

"Sebab itu salahlah tafsiran yang hendak menyamakan idea-idea Platon itu dengan idea dari ajaran idealis modern, seperti perguruan Marburg. Pendapat itu tidak sesuai dengan jiwa pikiran Yunani, yang mengakui bahwa pikiran manusia itu berhubungan dengan realitas di luar pikiran."

Kembali ke cara berfikir tentang dunia idea yang sangat ideal yang menjadi dasar dan asal-usul dunia inderawi, kita bisa membayangkan seorang pengkotbah menggebu-gebu menyatakan bahwa "yang benar-benar riil, terpenting dan satu-satunya tujuan riil hidup kita adalah surga". Apa yang terjadi kalau si pengkotbah begitu yakin bahwa surga adalah realitas satu-satunya? Bila demikian, dunia kita tidak ada artinya, dunia ini hanya ilusi, tidak memiliki sesuatu yang bisa disebut sebagai 'ada'. Dimata si pengkotbah, karena yang ada hanyalah surga, maka dunia ini tidak ada. Baginya dunia harus di tinggalkan, ditolak, dan dibuang karena dunia tidak memiliki nilai apapun dalam dirinya sendiri. Omongan tentang dunia idea sebagai surga ini sangat membantu kita untuk menukik langsung ke jantung permasalahan: apakah cara berfikir Platon memang teologis seperti kita-kita di Indonesia ini yang memiliki kecenderungan monoteis begitu kental? Ataukah, Platon adalah pemikir yang hendak memahami realitas (termasuk soal-soal keilahian) yang bergulat dan menulis berpuluh-puluh buku tanpa benar-benar jelas menerangkan pertanyaan sesederhana ini: APA ITU IDEA?

Rujukan: 

1. Setyo Wibowo, Makalah untuk filsafat Yunani kuno: Platon, Serambi Salihara, 19 Maret 2016
2. Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Penerbit Tintamas, 1980, hlm. 100-101, juga 102-103. Teori dua dunia ini dianggap Mohammad Hatta sebagai cara Platon mendamaikan Parmenides dan Herakleitos di satu sisi, dan di sisi lain, antara Sofisme dan Sokrates
3. Bdk. Prof. Dr. Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999, hlm. 131
4. Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004, hlm. 50
5. Bdk. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang terlibat penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (editor Sudiarja, Budi Subanar, St. Sunarki, T. Sarkim dkk), Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, hlm. 1149-1150

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socrates dan Daimonion-nya

Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya ( Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion -nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat ( Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian: "Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat