Langsung ke konten utama

Tuhan Sudah Mati dan Tak Perlu di Bela


Jika kita melihat sekilas dari judul di atas, mungkin banyak pertanyaan yang ada di dalam benak kita. Kenapa "Tuhan sudah mati dan tak perlu di bela?". Sebenarnya judul tersebut mengingatkan saya kepada dua sosok filosof yang terkenal yang gagasan serta pemikirannya masih di ingat hingga saat ini. Dia adalah Nietzche dan Gus Dur. Kedua sosok ini sebenarnya cukup misterius dan kontroversi. Gus Dur di anggap "gila" dan Nietzche benar-benar gila di akhir hidupnya.

Jika di lihat dari latar belakang keduanya, memang sangat berbeda. Gus Dur sudah jelas dari keluarga pesantren. Ia adalah cucu dari K.H. Hasyim Asy'ari, Sang Kyai yang memiliki sosok sebagai guru bangsa. Gus Dur juga adalah sosok guru bangsa yang selalu merawat keragaman dan toleransi. Dia memang dianggap nyeleneh oleh beberapa kalangan sampai di klaim antek Yahudi dan kafir, tetapi dia juga seorang wali Allah yang hingga saat ini banyak pengikut dan penggemarnya seperti halnya Gusdurian. Di saat ada diskriminasi dalam kalangan minoritas, Gus Dur selalu berada di garda terdepan untuk membelanya. Dia terus mengajarkan dalam hidupnya bagaimana pentingnya hidup beragama yang baik, santun, dan ramah. Bahkan hingga saat ini, ungkapan-ungkapan Gus Dur masih terus di ingat dan di kenang.

Kalau Nietzche sendiri adalah sosok yang memang lahir dari keluarga yang taat beragama. Dia berasal dari Jerman, kakeknya adalah salah satu petinggi gereja Lutheran dan ayahnya seorang pendeta dari Rochen. Ibunya pun dari latar belakang keluarga pendeta yang taat beragama. Dalam hal ini di masa awal hidupnya, Nietzche juga termasuk sosok yang taat dalam beragama.

Nietzsche juga termasuk orang yang cerdas, dia belajar banyak hal ilmu seperti filsafat, filologi, etika, dan juga teologi. Namun teologi kemudian ditinggalkan karena kepercayannya memudar. Kepercayaannya memudar karena nilai-nilai teologi menjadi absolut dan tidak bisa dipugar lagi. Dari sini Nietzsche kemudian dianggap sebagai atheis yang menentang tentang adanya Tuhan, bahwa menurut Nietzche, Tuhan tidak ada. Mungkin ini yang disebut dengan kata lain sebagai "kepercayaan kepada ketidakpercayaan". Akan tetapi Nietzsche juga mengkritik Atheisme itu sendiri, itulah yang membuat Nietzsche menjadi sosok yang misterius hingga akhir hayatnya.

Jika Gus Dur dianggap gila, maka Nietzsche benar-benar gila. Nietzsche menderita sakit jiwa pada tahun 1889 dan meninggal pada tahun 1900. Tetapi sama halnya dengan Gus Dur, gagasan-gagasan yang diberikan Nietzsche banyak mengejutkan kajian filsafat modern dan bahkan pemikirannya masih dikenal hingga saat ini.

Kata-kata Nietzsche yang paling terkenal dan menarik adalah "Tuhan telah mati". Sehingga berawal dari ungkapan inilah Nietzsche dianggap sebagai seorang Atheis sejati. Dia melawan dan menentang nilai-nilai ketuhanan yang absolut yang menjadi penjara bagi kebebasan nilai-nilai duniawi. Sebenarnya ungkapan "Tuhan telah mati" ini muncul karena Nietzsche melihat banyaknya doktrin-doktrin atau ajaran agama yang absolut-mutlak. Menurutnya, ajaran-ajaran tentang ketuhanan ini menjadi akibat hilangnya nilai-nilai baru yang ada. Jadi dia berpendapat bahwa manusia itu harus terbebas dari nilai-nilai absolut yang mampu menjamin dirinya. Sehingga manusia harus bisa mengenali dirinya sendiri dan tidak bergantung kepada apapun termasuk Tuhan.

Menurut Nietzsche, manusia harus mampu menciptakan nilai-nilai yang baru, sehingga nilai-nilai yang lama bahkan absolut menjadi runtuh dan nantinya tergantikan dengan nilai-nilai yang baru yang lahir dari dirinya sendiri tanpa ada peran dan jaminan dari Tuhan. Hal ini Nietzsche menyebutnya dengan nihilisme radikal. Dunia akan terus berubah dan perubahan akan melahirkan perkembangan dan kita harus bisa ikut dalam perubahan tersebut dan menjadi pembaharu tanpa adanya peran dari siapapun.

Jika Nietzsche mengatakan "Tuhan telah mati", maka Gus Dur memiliki gagasan yang juga cukup menarik perhatian, seperti halnya "Tuhan tidak perlu di bela". Ungkapan ini cukup populer dan menyedot banyak perhatian. Tetapi kita jangan sampai gagal paham dengan ungkapan Gus Dur ini, karena ungkapan ini justru merupakan kebenaran yang tidak bisa dipahami semua orang, makanya gusdur sampai dianggap "gila" oleh sebagian kalangan yang tidak menyukai dengan pemikirannya ini.

Gus Dur menjelaskan melalui ungkapan al-Hujwiri, “Bila engkau menganggap Allah itu ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ‘ia menyulitkan’ kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikatnya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.”

Gus Dur sebenarnya ingin menjelaskan bahwa Tuhan tidak bisa dirumuskan dengan bahasa manusia. Ia besar, kuasa, dan tidak perlu pembelaan dari siapapun. Apapun yang dilakukan manusia, tidak akan mengubah apapun, ia tetap Tuhan. Oleh karena itu, Gus Dur menegaskan, “Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela.”

Oleh sebab itu, merumuskan Tuhan sama halnya menciptakannya. Padahal ialah Sang Pencipta. Jika Tuhan dirumuskan atas persepsi kita sebagai manusia, merepresentasikan kekerasan, perusakan, maka tampak kejam sekali Tuhannya. Lain halnya jika Tuhan direpresentasikan sebagai sosok yang adil, bijak, ramah, maka Tuhannya pasti menciptakan kerukunan dan perdamaian. Seperti apakah Tuhan-mu?
 
Bagi Nietzsche, Tuhan telah mati. Nilai-nilai spiritualitas-ilahiah telah runtuh digantikan nilai-nilai yang baru. Nilai-nilai yang baru itu sebenarnya adalah kemanusiaan, kebudayaan dan peradaban yang terus berkembang. Nilai-nilai senantiasa berubah, termasuk nilai-nilai spiritualitas. Nietzsche menolak nilai yang absolut, apalagi nilai-nilai ketuhanan. Nilai-nilai yang absolut telah mati berganti dengan nilai-nilai baru yang lebih hidup. Sehingga dari sini bisa kita simpulkan bahwa Nietzsche mengajak kita untuk terus memperjuangkan nila-nilai yang terus berubah dalam kehidupan manusia melalui diri kita. 

Gus Dur pun demikian, dia mengajarkan kita untuk berjuang tehadap kemanusiaan dan melawan penindasan. Berjuang melawan intimidasi dan kekerasan atas nama agama, ras, dan tradisi. Berjuang melawan korupsi dan melakukan perubahan. Gus Dur, membela yang sebenarnya dibela oleh Tuhan. Membela kaum lemah. Membela kaum minoritas. Membela kebajikan. Membela kepentingan manusia. Gus Dur mengingatkan kita bahwa manusia diciptakan bukan untuk Tuhan, tapi untuk manusia dan semesta alam.

Tuhan tidak perlu dibela, karena Tuhan tidak memerlukan apapun dari kita. Tuhan melihat manusia yang paling baik adalah mereka yang paling beriman dan bertakwa kepada-Nya. Mereka adalah yang menebarkan kebaikan, kebajikan, keadilan, toleransi, dan menjaga kerukunan antar sesama. Tidak ada ceritanya Tuhan membela kekerasan dan perusakan, apalagi atas nama diri-Nya sendiri.

Dari itu marilah kita terus melakukan perubahan-perubahan dalam diri kita dan lingkungan kita dalam hal kebaikan dan terus menebarkan benih-benih kebajikan, keadilan, toleransi, serta terus menjaga kerukunan antar sesama kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socrates dan Daimonion-nya

Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya ( Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion -nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat ( Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian: "Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat