Langsung ke konten utama

Agama Dalam Jerat Kekerasan


Agama diciptakan untuk manusia dan kemaslahatan, bukan untuk Tuhan dan kemaslahatannya. Karena memang Tuhan tidak beragama dan tidak perlu agama. Akan tetapi, banyak klaim yang menyatakan bahwa Tuhan memiliki sekat-sekat agama dengan saling mengklaim satu sama lain antara pemeluk agama. Pada dasarnya, agama itu sepenuhnya damai dan tidak mengenal kekerasan. Namun, apakah ada agama yang tanpa kekerasan? Jawabannya, sayangnya, tidak ada. Ada beberapa hal yang menyebabkan agama tidak lepas dari kekerasan. Pertama, karena dalam agama ada ajaran tentang pengorbanan. Ajaran ini meniscayakan adanya pengorbanan untuk membuktikan iman atau cinta kepada Tuhan. Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail (atau Ishak, dalam konteks Kristen) adalah contoh terbaik ajaran tentang pengorbanan itu. Walaupun akhirnya Tuhan mengganti Ismail (Ishak) dengan domba, itu sudah cukup untuk menggambarkan bahwa ada kekerasan yang dianjurkan agama, yang demikian ia menjadi kekerasan yang sakral. Dalam konteks Islam, kisah pengorbanan Ibrahim dan Ismail ini diabadikan dengan hari raya Qurban setiap bulan Dzulhijjah dengan pengorbanan unta, sapi, domba, dan kambing. Mengorbankan hewan merupakan salah satu bentuk kekerasan yang disakralkan. Menurut Rene Girard (1979), agama adalah suatu cara pengaturan kekerasan sosial dan menciptakan kohesi sosial. Melalui pengorbanan, kekerasan yang mengancam masyarakat secara ritual ditolak keluar, dan tidak mengena kepada anggota masyarakat. Dalam Islam, pengorbanan itu untuk membuktikan cinta dan ketaqwaan kepada Allah. 

Kedua, agama selalu mengasumsikan logika baik-buruk dan benar-salah, dan menempatkan yang religius sebagai kebaikan dan kebenaran, sedangkan non-religius sebagai keburukan dan kesalahan. Ini terkait dengan kekerasan epistemik di atas, namun dalam kenyataannya menjelma menjadi sistem ortodoksi yang kemudian mengklaim kebenaran pemahaman dan interpretasi mainstream dan menegasikan pemahaman dan interpretasi minoritas. Klaim ini yang mengakibatkan munculnya sekte-sekte dan lembaga fatwa yang menilai keagamaan kelompok di luar mereka sebagai menyimpang dan sesat. Fatwa semacam ini tidak jarang berlanjut pada kekerasan fisik yang mengancam jiwa seseorang atau kelompok orang, dan struktural, jika di adopsi oleh penentu kebijakan.

Ketiga, dakwah, misi, dan ekspansi agama tidak jarang dilakukan dengan cara kekerasan. Ketika Hindu dan Budha menjadi agama negara di sejumlah negara Asia, ia menjadi lepas dari kekerasan dalam penyebaran agamanya. Ketika Kristen diadopsi menjadi agama negara Romawi/Bizantium, ekspansi agama pun menjadi sejalan dengan ekspansi negara, dan ekspansi negara dapat dimotivasi oleh keinginan menyebarkan agama ke wilayah-wilayah lain. Ekspansi Kristen, baik Katolik maupun Protestan, berkembang sejalan dengan kolonialisme yang terjadi antara abad ke-18 hingga awal abad ke-20, termasuk ke Indonesia. Islam pun bukan perkecualian. Dalam waktu 30-an tahun kekuasaan Khulafa' Rasyidun (empat kekhalifahan pertama) semenanjung Arabia, sebagian wilayah Persia dan Afrika Utara sudah ditaklukan. Ekspansi Islam ke Indonesia dikatakan berlaku secara damai melalui jalur perdagangan dan sufisme. Namun, tak dapat diingkari fakta-fakta peperangan internal di Nusantara dalam upaya ekspansi Islam itu. (Houtart 2002: 11-3).

Keempat, kitab suci  terkadang mengandung juga pernyataan yang secara eksplisit atau implisit dapat dipahami sebagai membolehkan, menganjurkan, bahkan mewajibkan kekerasan. Kekerasan ini bisa terkait dengan hukuman keagamaan, mempertahankan diri, jihad, dan bisa pula terkait dengan orang atau kelompok tertentu yang berbeda dan bersebrangan dengan agama lain, atau menolak atau menentangnya.

Kelima, hampir selalu ada individu dan kelompok dalam agama yang berpaham radikal yang memperkenankan penggunaan kekerasan dalam keberagaman mereka (hampir) di masing-masing agama. Penganut agama yang radikal ini biasanya jumlahnya tidak banyak, namun dapat menguasai wacana karena kegaduhan dan ulah mereka. Kaum teroris adalah kaum yang bukan hanya radikal dalam pikiran (kekerasan epistemik), namun juga dalam perkataan, gestur, dan tindakan. Biasanya mereka menjadikan agama sebagai justifikasi kekerasan mereka.

Hal di atas menunjukkan bahwa secara historis dan empiris, agama tidak terlepas dari jebakan kekerasan, baik ringan maupun berat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socrates dan Daimonion-nya

Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya ( Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion -nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat ( Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian: "Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat