Langsung ke konten utama

Kisah Pengorbanan Putra Ibrahim Dalam Yahudi, Kristen, dan Islam


(Tulisan pertama dari tiga tulisan)

Kisah pengurbanan putra Nabi Ibrahim sangat populer dalam kalangan Yahudi, Kristen, dan Islam. Misalkan dalam kitab Taurat Sefer Beresit (Kejadian 22: 1-14). Disana dijelaskan bahwa putra Ibrahim yang akan dikorbankan adalah Ishak. Kitab ini merupakan sumber tertua, jauh sebelum versi Islam muncul pada abad VII M. Kitab Injil juga menyinggung sekilas dalam rangka teladan iman dan ketaatan seperti yang tertulis dalam Surah Ibrani: "Pistei prosenenoksen Abraham to Isaak peirazomenos" 
Artinya: "Karena iman, tatkala dicobai, Abraham mempersembahkan Ishak" (Ibrani: 11: 170).
Sedangkan dalam al-Qur'an sendiri menyebutkan kisah tersebut dalam Surah Ash-Shaffat: 101-102:
"Fabasyarnahu bi ghulamin halim".
Artinya: "Dan kami berikan kabar gembira dengan seorang anak yang penyantun". 
Akan tetapi di ayat ini tidak di jelaskan siapa anak yang akan dikorbankan, melainkan hanya menyebutkan identitas anak Ibrahim secara umum.

Oleh karena itu, dalam hadish-hadish ada yang meriwayatkan Ishak, tetapi ada pula yang meriwayatkan Ismail. Kisah pengujian iman Ibrahim ini dalam sastra kuno termasuk dalam jenis "kisah sebab" (aitiologi), yang mengisahkan suatu tempat dan suatu upacara ibadah pada zaman dulu. Gunung Moriah (Ibrani: Har HaMoriyah) adalah gunung tempat nantinya Raja Salomo (Sulaiman) mendirikam Bait Suci (Ibrani: Bet HaMiqdash; Arab: Bait al-Maqdis), seperti yang disebutkan dalam Alkitab: "Salomo mendirikan Rumah TUHAN di Yerusalem, yakni di gunung Moriah, dimana TUHAN menampakkan diri kepada Daud, ayahnya, yakni di tempat pengirikan Ornan, orang Yebus itu" (2 Tawarih. 3:1).

Sebagai suatu "kisah sebab", sudah barang tentu banyak aliran agama yang berkepentingan. Dan sejarah sekte-sekte Yahudi menunjukkan hal itu. Sejak abad IV SM, ketika kaum Samaria ditolak keikutsertaannya dalam pembangunan kembali Bait Allah pasca-pembuangan di Babel (alasannya mereka tidak menjaga kemurnian ras dan agama Yahudi), mereka telah menafsirkan bukit Moriah berada dekat Nablus (gunung Gerizim). Nablus ialah tempat orang Samaria menetap hingga saat ini. Daerah ini sekarang masuk wilayah otonomi Palestina. Kaum Samaria ini masih bertahan hingga sekarang, meskipun jumlah mereka tinggal sekitar 500 orang saja. Untuk mendukung tempat suci mereka di gunung Gerizim mereka baca ayat 2: HaMoreh (gunung Moreh), sebagai nama lain dari gunung Gerizim, menggantikan bacaan aslinya HaMoriah. Akan tetapi perdebatan mengenai hal tersebut terus berlanjut hingga masa sesudahnya.

Tetapi sejarah di kemudian hari, khususnya di kalangan anak-anak Ibrahim, masih memperdebatkannya. Rupanya karena motif aitiologi pula, perdebatan semacam ini masih diambil alih dalam sejarah Islam, yang antara lain mengaitkan Jabal Marwah (gunung Marwah) di Mekkah dengan Nabi Ibrahim dan ibadah haji. Dalam bahasa-bahasa Semit, karena kata-kata dibentuk dalam huruf-huruf mati, dan akar kata tersebut kita dapat melacak asal-usul bahasa yang serumpun. Analisisnya sebagai berikut. Ketiga nama itu: Moriah, Moreh, dan Marwah, lebih jelasnya apabila dalam bahasa Ibrani/Arab demikian:
Aksara: M-W-R-Y-H
Bacaan: MORYAH
Aksara: M-W-R-A-H
Bacaan: MOREH
Aksara: M-R-W-H
Bacaan: MARWAH

menariknya, ketiga nama yang dipakai untuk menyebut tanah suci dan gunung suci yang dimaksud, baik kaum Yahudi, Kristen, Samaria, dan Islam, semua dihubungkan dengan Ibrahim. Begitu pula untuk menyebut "tempat suci" Ibrahim, baik kaum Yahudi, Kristen, Samaria, dan Islam juga menyebutnya Maqam (maksudnya: "tempat suci", "memorial"/ [tempat peringatan], dan bukan "kuburan" dalam bahasa Indonesia). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socrates dan Daimonion-nya

Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya ( Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion -nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat ( Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian: "Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat