Langsung ke konten utama

Socrates-nya Plato


Socrates adalah karakter yang mendapatkan banyak dugaan dalam literature, yang diubah oleh persepsi penulis tentang karakter dari aktivitasnya. Di antara para akademisi filsafat kuno, Socrates kerap dianggap sebagai “Socrates”nya Plato karena dia tergambar dalam dialog-dialog Plato yang mereka labeli sebagai “Sokratik”. Namun, tidak terdapat banyak kesepakatan tentang sebutan atau label yang pas. Sekarang semuanya cenderung menuju bahwa dalam karya periode tengah dan akhir Plato, karakter yang disebut Socrates menjadi lebih menyerupai penyambung lidah doktrin Plato sendiri dan kurang dikarakterisasi “secara Sokratik”. Phaedo biasanya digolongkan sebagai karya di dua periode tersebut. Sekalipun demikian, karya tersebut tetap menawarkan sejumlah persepsi yang masuk ke dalam pemdangan Plato tentang Socrates yang sesungguhnya. Karenanya, kronologi menjadi penting. Bukan karena Plato melupakan mentor dan sumber inspirasinya, tetapi (i) perhatiannya berubah dan berkembang dalam satu cara yang akan menjadi tidak alami untuk membatasi dirinya terhadap pengujian masalah-masalah dari perspekti Sokratik, dan (ii) karena konvensi penulisan Sokratik telah berubah menjadi sebuah cara yang tidak lagi berharap kepada karakter Socrates-nya seseorang yang mungkin hanya berkata tentang hal-hal yang dikatakan Socrates.

Kesepakatan-kesepakatan perubahan diilustrasikan melalui pengamatan-pengamatan di permulaan Apology of Socrates yang ditulis Xenophon. Di sana dikatakan bahwa sampai sedemikian jauh, semua orang yang telah menulis tentang pengadilan dan kematian Socrates berusaha menangkap kesendirian Socrates yang aneh. Karena itu, mereka membuat Socrates tampak lebih tidak berhati-hati karena mereka tidak bergerak lebih dalam ke pemikiran-pemikirannya yang memilih untuk mati ditahap ini daripada hidup. Kebulatan suara dari para penulis ini sebenarnya adalah petunjuk fakta historis di mata Xenophon. Namun, apakah dia mengkritik mereka karena tidak bergerak melampaui kata-kata Socrates untuk menjelaskan kesendirian itu? Penulis Sokratik tampaknya tidak sekadar mengatakan hal-hal yang dikatakan dan dilakukan oleh Socrates, tetapi juga meletakkannya dalam perspektif yang menarik. Ini tentunya yang dilakukan Plato dalam Phaedo, sebuah karya sebenarya mengandung pidato pembelaan yang baru, yang untuk itu diberikan kepada teman-temannya dan menjelaskan (dengan cara yang jauh lebih filosofis ketimbang Xenophon) tentang alasan filsuf harus menyambut kematian.

Mungkin, seseorang dapat melacak bahwa di dalam Phaedo terdapat sebuah respon Platonik terhadap tantangan dari penulis Sokratik lainnya, Xenophon. Di samping itu, seseorang dapat melihat di dalam Euthydemus tentang sebuah serangan terhadap mereka yang menampilkan filosofis Sokratik dengan cara yang begitu kontoversial, memperjuangkan kemenangan berargumen demi kebenaran. Para akademisipun kerap mencurigai respon Platonik di antara sesama pengikut Sokratik, Antisthenes, di berbagai halaman. Tentunya, Antisthenes menyerang Plato dalam karyanya yang berjudul Sathon, judul yang kasar, pelecehan memelintir nama Plato. Ketika dialog menjadi alat polemik untuk menjalankan perdebatan diantara rival para pengikut Sokratik, karakter “Socrates” secara progresif harus digunakan untuk menampilkan filsafat Socrates dari sisi penulis. Semakin sedikit orang melihat Socrates yang sebenarnya dalam karya-karya para rival, semakin banyak orang yang merasa perlu mengubahnya untuk disesuaikan dengan tujuan seseorang. Tidak hanya terdapat satu Socrates dalam kepustakaan, tetapi banyak.

Apa yang hendak saya katakan di sini kemudian berhubungan dengan Socrates-nya Plato. Dia muncul di bagian-bagian awal ataupun di bagian akhir seperti menerangi figur historis. Investigasi Socrates dirujuk dalam Apology dan Plato menunjukkan kepada kita teknik investigasinya di dalam karya-karya seperti Euthyphro yang muncul menjadi pengujian terhadap yang harus diketahui atau diklaim tahu oleh lawan bicara. Diskusi biasanya muncul pada pandangan pertama, dari harapan Socrates untuk mengobati ketidaktahuannya yang mendalam terhadap subjek yang dimengerti oleh orang lain. Walaupun demikian, kami curiga bahwa harapan sesungguhnya adalah untuk memaparkan ketidaktahuan pihak lain. Dengan melakukan itu, dia menarik perhatian kesulitan-kesulitan mendalam yang ada dalam subjek yang harus disadari oleh setiap pihak yang akan menjadi ahli. Namun kadangkala, seperti dalam Charmides, Lysis, dan Meno, dimana para lawan bicara adalah orang muda yang membutuhkan bimbingan, tujuan di dalam memaparkan ketidaktahuan lebih konstruktif dan dikembangkan untuk menyemangati mereka untuk mengejar filsafat. Selalu ada satu kerangka dalam pengujian teori-teori seseorang merupakan pengujian terhadap hidup dan karakter mereka, seperti terdapat dalam Lakhes (187e-188a). Seperti yang sudah kita lihat, metode argumentasi Socrates, elenchus, menunjukkan ketidakkonsistenan kepercayaan moral dari lawan bicara, ketidakkonsistenan yang mungkin direfleksikan di dalam kehidupan mereka.

Sudah diketahui bahwa Socrates mengklaim tidak mengajar, tidak memberikan petunjuk kepada lawan bicara. Menjadi penting bagi si lawan bicara untuk berpartisipasi maupun sepakat kepada setiap premis dan setiap tahap dalam argumen. Ketika dia mengajukan saran-saran yang membuat argumen tetap berjalan. Terdapa lebih banyak kesempatan ketika pertanyaan-pertanyaannya memperkenalkan aspek-aspek masalah yang harus dipertimbangkan karenanya. Ia dapat menjadi konstrutif, tetapi dia mengetahui bahwa satu-satunya bangunan aman dalam pendidikan adalah bangunan yang dibuat dengan bebas berdasarkan pengalaman si pelajar sendiri. Ketika itu, Elenchus lenyap dengan sendirinya. Ini tidak banyak terjadi dalam Crito dan bukan lagi sarana investigasi di dalam Phaedo, karena di dalam keduanya, kepercayaan Socrateslah yang harus dibenarkan daripada lawan bicara. Namun, kesepakatan dari lawan bicara di setiap tahap tetap penting. Dia tidak harus dipaksa bersepakat, tetapi secara bertahap mulai melihat bahwa dia juga harus menerima logika posisi Socrates. Socrates muncul sangat tajam dalam perdebatan. Namun, ini didedikasikan untuk tujuan pendidikannya sendiri, maupun untuk tuntunannya akan kebenaran agar menjadi pemain sandiwara ataupun penipu yang penuh kecurangan. Walau ada masanya ketika orang mencurigai bahwa dia tidak terlalu perlu menyerang seiring dengan kemalasan untuk mencoba dan memahami posisi musuhnya, bukanlah intensi Plato untuk melukiskannya sebagai pendengki yang mengajukan pertanyaan.

Sepanjang tindakan dialog diperhatikan, Socrates tampak berperan kecil di dalamnya, di samping datang dan pergi dari layar perdebatan. Dalam Euthydemus, misalnya, Socrates awalnya duduk sendiri, yang lain mengambil posisinya, beraksi dan bereaksi. Socrates biasanya berbicara tenang, membiarkan yang lain terpancing ke dalam tindakan demi tindakan, walau dia tidak meninggalkannya ketika perdebatan kadangkala mentok seperti dalam Protagoras (335d). Agaknya, Socrates paling dikenal karena kelambanannya: dalam Symposium oleh karena kebiasaannya berdiri di beranda tetangga (175a-b) atau kegagalannya menanggapi serangan Alcibiades (219b-d) atau kekebalannya terhadap anggur (220a, dll). Ini adalah Socrates yang sama yang berdiam di Athena yang melawan tindakan-tindakan illegal dan menolak melarikan diri dari penjara. Kejadian cenderung bergerak mengelilinginya seperti melingkari pusat sebuah pusaran.

Figur yang tetap yakin dan tidak goyah di tengah naik turunya kehidupan tampaknya seperti seseorang yang mendasarkan hidupnya atas kepercayaan-kepercayaan yang luar biasa aman dan kokoh. Pembaca Apology akan merasa Socrates adalah orang semacam itu yang pada saat yang sama dihadapkan kepada pengakuan Socrates sendiri yang merupakan satu-satunya cara agar kebijaksanaannya melampaui yang lain dengan cara mengakui ketidaktahuannya. Socrates yang diduga berada di “dialog-dialog awal” (seperti diduga juga di akhir Theaetetus) sebenarnya adalah orang yang membuat banyak senjang yang menganga di dalam pengetahuannya sendiri. Penyelidikannya biasanya muncul keluar dari pengakuannya bahwa dia tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tampak biasa, seperti “Apa itu keberanian?”, “Apa itu retoris?”, atau “Dapatkah keutamaan diajarakan?”. Pekerjaan semacam ini cenderung berakhir baik tanpa kesimpulan. Atau, beberapa kesimpulan yang demikian tidak intuitif sehingga tidak dapat menyakinkan siapa pun. Euthyphro adalah contoh dari bentuk yang pertama, sedang yang kedua adalah Hippias Minor. Bagian tertentu di mana Socrates tampak begitu terbuka mengajukan doktrinnya, seperti dalam Protagoras (345b0c), cenderung menjadi sangat menyerang ketika ditampilkan. Itu membuatnya tidak tampak sebagai ekspresi kepercayaan yang mengirim tantangan kepada siapa pun yang akan memilih untuk tidak percaya. Socrates tidak pernah menempatkan dirinya sebagai otoritas atas segala hal yang berkaitan dengan moralitas, dan tidak juga terhadap segala hal yang secara tradisional diajarkan oleh para filsuf pra-Sokratik atau oleh para sofis. Karena itu, dia tidak menempatkan dirinya sebagai ahli teknik investigasi atau ahli dalam pengucilan kepercayaan-kepercayaan palsu karena keahlian semacam itu dilekatkan di tangan penunjuk Apollo atau beberapa inspirasi lebih daripada pengetahuan yang sistematis.

Tentu, para pembaca karya-karya yang ada saat ini tidak akan mudah menerima bahwa Socrates bukan seorang ahli. Socrates tampak seperti seorang ahli Elenchus dalam Euthyphro. Dia tampak menjadi pencerita bagi juri mengenai makna keadilan dan tuntutan sumpah juri di dalam Apology, sebuah kerja yang memintanya menyatakan penolakan untuk menjadi korban tindakan-tindakan inkonstitusional, yang mungkin menggiringnya ke kematian yang tidak adil. Dia kelihatan cukup pasti mengenai syarat-syarat keadilan dan kepenuhan hukum di dalam Crito. Keyakinannya mantap seperti orang yang jiwanya akan abadi dan beberapa teori yang berkaitan dalam Phaedo. Karya terakhir tersebut tidak bermasalah, sepanjang karya itu diakui sebagai karya periode tengah, dan karenanya kurang ketat untuk Socrates yang menyejarah. Namun, seseorang merasa bahwa Plato menulis sebagaian untuk menjelaskan ketenangan penuh Socrates ketika menghadapi kematian. Bagi Plato, itu adalah sebuah ketenangan yang didasari atas kepercayaan Socrates yang mendalam.

Ada berbagai cara yang mungkin dapat diupayakan untuk menyesuaikan penolakan Socrates terhadap pengetahuan dengan sikapnya yang penuh kepastian. Pertama, terdapat cara skeptis. Skeptis di masa kuno, seperti banyak disebut orang bahwa Socrates pendahulunya menyakini bahwa bentuk pemikiran yang tidak bermasalah paling baik dicapai dengan menghindari kesimpulan. Secrates dapat dilihat sebagai skeptis yang sesungguhnya. Ketenangannya menghadapi kematian adalah hasil suksesnya. Ini tidak membantu menjelaskan ceramah kecilnya kepada juri dan kepada Crito. Lalu, muncullah pendekatan kronologis. Apology dan Crito di buat diakhir hidup Socrates. Di periode ini jugalah dia menyerukan penolakan-penolakan untuk bertindak di luar hukum. Tidak ada gunanya menduga bahwa Socrates selalu memiliki keyakinan yang dia tunjukkan di tahun-tahun terakhir kehidupannya. Hal yan paling berhasil dari pengujiannya terhadap orang lain bisa jadi mempengaruhi dirinya sehingga dia memiliki beberapa jawaban bagi dirinya sendiri. Namun, dalam Apology Socrates tidak menunjukkan bahwa dia meninggalkan pengabaiannya atas pengetahuan. Bahkan, dalam sikapnya yang paling kukuh, dia tetap berbicara tentang pikirannya atau yang tampak adil bagi dirinya. Di atas segalanya, profesi ketidaktahuan tetap kuat di dalam Euthyphro. Kita bisa menurunkannya sebagai produk dari ironi Socrates, tetapi  bukan fungsi dari ironi Sokratik untuk menunjukkan kebohongan. Ironi akan lebih melibatkan pernyataan yang setengah benar, bermain secara misterius dengan lawan bicara namun makna sesungguhnya tetap tersembunyi. Dengan begitu, pendekatan kronologis hanya sedikit berhasil.

Kemungkinan lain adalah dengan membedakan kerangka-kerangka yang diketahui dan tidak diketahui Socrates. Sebagai contoh, dia mungkin memiliki sebentuk pengetahuan terbatas yang terbuka bagi manusia, tetapi terhambat kepada kepenuhan pengetahuan sesuatu yang secara tradisional disiapkan bagi para dewa. Jika ini merupakan pandangan Plato tentang pengetahuan Sokratik, dia tentunya tidak membuatnya menjadi jelas. Pesan Sokratik adalah manusia tidak memiliki pengetahuan tentang aspirasi manusia. Euthyphro tidak akan meletakkan pemikirannya kepada suatu objek yang diketahuinya dengan baik dengan ketepatan yang kurang lebih sama dengan Dewa Zeus.

Aspek yang paling menghimpit dari penolakan Socrates akan pengetahuan adalah fakta bahwa doktrinnya yang paling mengemuka (saya lebih suka menyebutnya “tema”) bahwa keutamaan adalah pengetahuan. Hasilnya menjadi: baik Socrates maupun orang lain yang dia kenal tidak dapat menjadi yang utama tentunya kecuali jika pengetahuan tentang ketidaktahuan seseorang dapat mencukupi kebutuhan utnuk melahirkan keutamaan. Seperti juga pada yang lain, Socrates-nya Plato tidak mendorong kepercayaan bahwa siapa pun dari mereka adalah yang utama menurut makna tetap dari keutamaan. Namun, Plato ingin kita mempercayai bahwa Socrates adalah keutamaan dalam kerangka yang penuh makna.

Tentunya, pertanyaan yang mencuat kemudian adalah hakikat dari pengetahuan itu sendiri. Apa yang perlu diketahui? Bagaimana seseorang menguji pengetahuan? Bagaimana seseorang mengenalinya? Oleh karena pertanyaan ini begitu sentral, perlakuan Plato terhadap pertanyaan tersebut tidak muncul dalam bentuk final sampai Theaetetus yang baru mencul di masa akhir karirnya. Di dalam Theaetetus, Socrates “tidak produktif menciptakan kebijaksanaan”, dan “tidak memiliki sesuatu yang bijak” untuk ditawarkan (150c). Namun demikian, dia memiliki keahlian luar biasa dalam meyelidiki dan mengevaluasi ide-ide dari yang lain, dan di atas segalanya membedakan yang benar dari yang salah (151b-d). Dia mengetahui Plato ingin menyakinkan kita bukan sekadar ketidaktahuannya sendiri, tetapi juga apakah orang lain tahu atau tidak tahu. Dengan pengetahuan ini, dia harus mampu menyatakan semua proposisi yang diajukan oleh dewan bicara untuk diuji sebagai yang salah atau yang benar. Dapatkah dia mengetahui sebuah proposisi benar tanpa mengetahuinya? Jelas ini sama sekali tidak masuk akal. Mari kita mengejar konsekuensi-konsekuensinya.

Jika orang lain dapat melahirkan kepercayaan akan kebenaran rasional yang dibutuhkan sebagai basis pengetahuan walaupun mereka tidak mampu mengujinya, Socrates memiliki kemampuan untuk menguji kebenaran maupun kepalsuan mereka walaupun tidak memiliki kepercayaan yang diperlukan. Di sini menjadi jelas bahwa proses penemuan menjadi tahu hanya dapat terjadi ketika Socrates menguji kepercayaan orang lain. Ini harus muncul melalui beberapa pertukaran dialektis antara Socrates dan para penganut kepercayaan tersebut. Ini akan menjelaskan alasan pengabdian Plato kepada metode perbincangan  Socrates jauh lebih besar daripada pengabdian kepada hal yang kita lihat sebagai doktrin Socrates. Orang lain boleh memiliki kepercayaan yang benar, tetapi sayangnya bergemilang dalam ketidaktahuan karena tidak memiliki sarana unuk mengidentifikasi kebenaran. Socrates dapat membantu mereka, tetapi bergantung kepada kerja sama yang mereka lakukan dalam menyediakan gagasan untuk pengujian.

Jika penilaian terhadap kontribusi Socrates terhadap pengetahuan benar adanya, menjadi jelas mengapa dia berlaku seperti tidak tahu, dia tetap bergantung kepada saran-saran dari yang lain. Namun, mungkin  jelas dia dapat menjadi begitu percaya diri di sejumlah pertanyaan yang secara rutin diuji dengan para ahli. Kesimpulan-kesimpulan yang lahir dari invetigasinya, baik benar atau salah, adalah proposisi-proposisi yang telah diketahui dari pengalaman melewati ujian. Meragukan hasil investigasi tidak akan menjadi keraguan terhadap kemampuannya sendiri. Justru, malah menjadi keraguan terhadap kemurahatian dan kebijakan dari kemuliaan, dari orang yang memberikannya kekuatan dan perintah untuk menggunakan kekuatan tersebut. Itu kemudian menjadi kasus ketidaksalehan. Socrates tidak dapat meragukan banyak penemuan dari pertanyaannya karena dia tidak dapat meragukan karunia profetik yang melekat padanya dipertanyaan tersebut. Kepercayaan dirinya sebagian merupakan produk inspirasi mulia yang melekat padanya. Dia tidak memiliki kepercayaan diri yang sama di kekuatan individu lain untuk menemukan kebenarannya sendiri melalui kekuatan kognitif sederhananya.

Ini menjadi persoalan. Jelas bahwa masa tersebut menyumbang kepercayaan diri di akhir hidup Socrates. Kepercayaan diri itu bergantung kepada pengalamannya sebagai hasil upaya mempertanyakan. Sekalipun demikian, kita harus sedikit melihat secara komparatif jika upaya itu tidak untuk keterbukaan seperti yang diungkapkan Socrates di sebagian Apology, sebagaimana juga di dalam Crito dan Phaedo. Ini karena Socrates-nya Plato adalah pakar ironi, pakar mistifikasi seperti yang dikatakan oleh Alcibiades: “Menghabiskan seluruh hidupnya dengan memerankan ironi dan bermain-main dengan manusia”. Alcibiades membandingkan eksternal Socrates, sesuatu yang bukan dan tidak harus diperhatikan secara serius, dengan diri internal yang kehebatannya hanya diungkapkan kepada mereka yang mengenalnya dari dekat. Hal ini memungkinkan orang untuk melihat topeng Socrates yang tidak serius sebagai mekanisme pertahanan, sesuatu yang cukup lama mencegah warga Athena menganggapnya sebagai ancaman. Namun, keterlibatannya dalam huru-hara politik di periode 406-403 SM telah memaksa dirinya untuk membuka tangan. Tanpa topeng tersebut, kecurigaan publik terhadap aktivitasnya meningkat, memaksanya berbicara lebih datar. Euthyphro menggambarkan kejadian-kejadian sebelum pengadilan, menunjukkan topeng yang hancur, dan juga menunjukkan bagaimana mereka yang melihatnya sebagai teman dan sekutu dapat berbalik memusuhinya. Apology menunjukkan topeng itu dan dengan sengaja menyingkapnya. Crito dan Phaedo bahkan menunjukkan topeng itu benar-benar telah lenyap.

Ada satu aspek lain di dalam Crito dan Phaedo yang relevan dengan konteks ini: Plato tampak dengan sengaja menampilkan Socrates sebagai seorang manusia yang kekuatan visinya telah mencapai puncak sejenak sebelum dia meninggal. Di dalam Crito, kekuatan penyelamat diasosiasikan dengan Apollo yang beroperasi dengan pengaruh yang kuat atas Socrates. Dalam 44a-b, kita diceritakan mengenai sebuah mimpi profetik yang di dalamnya muncul seorang perempuan bergaun putih dan memberikan anjuran melalui kutipan Homerik bahwa masih ada dua hari sebelum Socrates meninggal. Akhirnya, pada akhir kerja dari suara Hukum Athena, yang memikat telinga seperti sirens, tampak dihargai sebagai perlengkapan yang dipakai Apollo untuk membimbing Socrates menuju kematiannya. Kita tidak bermaksud melihat hal ini sebagai ciri Socrates sepenuhnya. Lebih dari itu, kita harus melihatnya sebagai karakteristik di masa-masa akhirnya. 

Phaedo sebenarnya menyediakan teori yang mendukung gambaran mengenai seorang manusia di batas kemuliaan pengetahuan. Socrates membandingkan dirinya dengan angsa-angsa, sesama pelayanan Apollo, dewa masa depan, yang menurut penjelasannya menyanyikan lagu-lagu angsa sebelum kematian. Lagu-lagu ini dinyanyikan bukan tanpa kepedihan tetapi tanpa kesenangan untuk hal yang sudah mereka tahu dan akan dihadapi. Socrates memiliki kekuatan pengelihatan yang lebih sebagai efek dari waktu kematiannya yang semakin dekat. Begitu pula dengan ironi elenkhos Sokratik yang terkenal telah memberikan jalan bagi sebuah lagu baru dan tidak terkenal yang mencapai puncaknya dalam penjelasan visioner tentang dunia mitos yang lebih tinggi dan lebih rendah. Kekuatan imajinasi Socrates yang meningkat mungkin dijelaskan melalui teori bahwa filsuf menolak kenikmatan dan rasa sakit dari tubuh, berjuang untuk memisahkan jiwa dengan baik dari tubuh, memilih diri lepas dari tubuh sehingga kekuatan intelektual dapat mencapai puncaknya. Kehalusan jiwa Socrates yang meninggalkan tubuhnya setelah meminum racuk Hemlock bersaksi tentang kedektan kuat pada dunia ini, dan pada kebenarannya yang telah dicapainya.

Selanjutnya, Crito dan Phaedo, menggambarkan Socrates yang telah mencapai, saat mendekati kematian, kedekatan maksimum yang paling mungkin ke kemuliaan pengetahuan tentang kebenaran dari dunia lain. Tidaklah mengejutkan jika dia bicara dengan suara dan kepercayaan diri yang aneh. Tidak mengejutkan bahwa Socrates memiliki kepercayaan mengenai kematian adalah baik, akhir dari semua sensasi maupun permulaan dari sebuah perjalanan yang baru telah berubah menjadi kepercayaan diri dalam perjalanan yang baru. Itu berarti, bukan lagi kritik sosial Apollo yang berbicara, tetapi suara Apollo yang berbicara melalui Socrates. Atau, Plato meminta kita percaya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socrates dan Daimonion-nya

Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya ( Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion -nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat ( Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian: "Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat