Socrates adalah karakter yang
mendapatkan banyak dugaan dalam literature, yang diubah oleh persepsi penulis
tentang karakter dari aktivitasnya. Di antara para akademisi filsafat kuno,
Socrates kerap dianggap sebagai “Socrates”nya Plato karena dia tergambar dalam
dialog-dialog Plato yang mereka labeli sebagai “Sokratik”. Namun, tidak
terdapat banyak kesepakatan tentang sebutan atau label yang pas. Sekarang
semuanya cenderung menuju bahwa dalam karya periode tengah dan akhir Plato,
karakter yang disebut Socrates menjadi lebih menyerupai penyambung lidah
doktrin Plato sendiri dan kurang dikarakterisasi “secara Sokratik”. Phaedo biasanya digolongkan sebagai
karya di dua periode tersebut. Sekalipun demikian, karya tersebut tetap
menawarkan sejumlah persepsi yang masuk ke dalam pemdangan Plato tentang
Socrates yang sesungguhnya. Karenanya, kronologi menjadi penting. Bukan karena
Plato melupakan mentor dan sumber inspirasinya, tetapi (i) perhatiannya berubah
dan berkembang dalam satu cara yang akan menjadi tidak alami untuk membatasi
dirinya terhadap pengujian masalah-masalah dari perspekti Sokratik, dan (ii)
karena konvensi penulisan Sokratik telah berubah menjadi sebuah cara yang tidak
lagi berharap kepada karakter Socrates-nya seseorang yang mungkin hanya berkata
tentang hal-hal yang dikatakan Socrates.
Kesepakatan-kesepakatan perubahan
diilustrasikan melalui pengamatan-pengamatan di permulaan Apology of Socrates yang ditulis Xenophon. Di sana dikatakan bahwa
sampai sedemikian jauh, semua orang yang telah menulis tentang pengadilan dan
kematian Socrates berusaha menangkap kesendirian Socrates yang aneh. Karena
itu, mereka membuat Socrates tampak lebih tidak berhati-hati karena mereka
tidak bergerak lebih dalam ke pemikiran-pemikirannya yang memilih untuk mati
ditahap ini daripada hidup. Kebulatan suara dari para penulis ini sebenarnya
adalah petunjuk fakta historis di mata Xenophon. Namun, apakah dia mengkritik
mereka karena tidak bergerak melampaui kata-kata Socrates untuk menjelaskan
kesendirian itu? Penulis Sokratik tampaknya tidak sekadar mengatakan hal-hal
yang dikatakan dan dilakukan oleh Socrates, tetapi juga meletakkannya dalam
perspektif yang menarik. Ini tentunya yang dilakukan Plato dalam Phaedo, sebuah karya sebenarya
mengandung pidato pembelaan yang baru, yang untuk itu diberikan kepada
teman-temannya dan menjelaskan (dengan cara yang jauh lebih filosofis ketimbang
Xenophon) tentang alasan filsuf harus menyambut kematian.
Mungkin, seseorang dapat melacak
bahwa di dalam Phaedo terdapat sebuah
respon Platonik terhadap tantangan dari penulis Sokratik lainnya, Xenophon. Di
samping itu, seseorang dapat melihat di dalam Euthydemus tentang sebuah serangan terhadap mereka yang menampilkan
filosofis Sokratik dengan cara yang begitu kontoversial, memperjuangkan
kemenangan berargumen demi kebenaran. Para akademisipun kerap mencurigai respon
Platonik di antara sesama pengikut Sokratik, Antisthenes, di berbagai halaman.
Tentunya, Antisthenes menyerang Plato dalam karyanya yang berjudul Sathon, judul yang kasar, pelecehan
memelintir nama Plato. Ketika dialog menjadi alat polemik untuk menjalankan
perdebatan diantara rival para pengikut Sokratik, karakter “Socrates” secara
progresif harus digunakan untuk menampilkan filsafat Socrates dari sisi
penulis. Semakin sedikit orang melihat Socrates yang sebenarnya dalam
karya-karya para rival, semakin banyak orang yang merasa perlu mengubahnya
untuk disesuaikan dengan tujuan seseorang. Tidak hanya terdapat satu Socrates
dalam kepustakaan, tetapi banyak.
Apa yang hendak saya katakan di sini
kemudian berhubungan dengan Socrates-nya Plato. Dia muncul di bagian-bagian
awal ataupun di bagian akhir seperti menerangi figur historis. Investigasi
Socrates dirujuk dalam Apology dan
Plato menunjukkan kepada kita teknik investigasinya di dalam karya-karya
seperti Euthyphro yang muncul menjadi
pengujian terhadap yang harus diketahui atau diklaim tahu oleh lawan bicara.
Diskusi biasanya muncul pada pandangan pertama, dari harapan Socrates untuk
mengobati ketidaktahuannya yang mendalam terhadap subjek yang dimengerti oleh
orang lain. Walaupun demikian, kami curiga bahwa harapan sesungguhnya adalah
untuk memaparkan ketidaktahuan pihak lain. Dengan melakukan itu, dia menarik
perhatian kesulitan-kesulitan mendalam yang ada dalam subjek yang harus
disadari oleh setiap pihak yang akan menjadi ahli. Namun kadangkala, seperti
dalam Charmides, Lysis, dan Meno, dimana para lawan bicara adalah
orang muda yang membutuhkan bimbingan, tujuan di dalam memaparkan ketidaktahuan
lebih konstruktif dan dikembangkan untuk menyemangati mereka untuk mengejar
filsafat. Selalu ada satu kerangka dalam pengujian teori-teori seseorang
merupakan pengujian terhadap hidup dan karakter mereka, seperti terdapat dalam Lakhes (187e-188a). Seperti yang sudah
kita lihat, metode argumentasi Socrates, elenchus, menunjukkan
ketidakkonsistenan kepercayaan moral dari lawan bicara, ketidakkonsistenan yang
mungkin direfleksikan di dalam kehidupan mereka.
Sudah diketahui bahwa Socrates
mengklaim tidak mengajar, tidak memberikan petunjuk kepada lawan bicara.
Menjadi penting bagi si lawan bicara untuk berpartisipasi maupun sepakat kepada
setiap premis dan setiap tahap dalam argumen. Ketika dia mengajukan saran-saran
yang membuat argumen tetap berjalan. Terdapa lebih banyak kesempatan ketika
pertanyaan-pertanyaannya memperkenalkan aspek-aspek masalah yang harus
dipertimbangkan karenanya. Ia dapat menjadi konstrutif, tetapi dia mengetahui
bahwa satu-satunya bangunan aman dalam pendidikan adalah bangunan yang dibuat
dengan bebas berdasarkan pengalaman si pelajar sendiri. Ketika itu, Elenchus
lenyap dengan sendirinya. Ini tidak banyak terjadi dalam Crito dan bukan lagi sarana investigasi di dalam Phaedo, karena di dalam keduanya,
kepercayaan Socrateslah yang harus dibenarkan daripada lawan bicara. Namun,
kesepakatan dari lawan bicara di setiap tahap tetap penting. Dia tidak harus
dipaksa bersepakat, tetapi secara bertahap mulai melihat bahwa dia juga harus
menerima logika posisi Socrates. Socrates muncul sangat tajam dalam perdebatan. Namun,
ini didedikasikan untuk tujuan pendidikannya sendiri, maupun untuk tuntunannya
akan kebenaran agar menjadi pemain sandiwara ataupun penipu yang penuh
kecurangan. Walau ada masanya ketika orang mencurigai bahwa dia tidak terlalu
perlu menyerang seiring dengan kemalasan untuk mencoba dan memahami posisi
musuhnya, bukanlah intensi Plato untuk melukiskannya sebagai pendengki yang
mengajukan pertanyaan.
Sepanjang tindakan dialog diperhatikan,
Socrates tampak berperan kecil di dalamnya, di samping datang dan pergi dari
layar perdebatan. Dalam Euthydemus,
misalnya, Socrates awalnya duduk sendiri, yang lain mengambil posisinya,
beraksi dan bereaksi. Socrates biasanya berbicara tenang, membiarkan yang lain
terpancing ke dalam tindakan demi tindakan, walau dia tidak meninggalkannya
ketika perdebatan kadangkala mentok seperti dalam Protagoras (335d). Agaknya, Socrates paling dikenal karena
kelambanannya: dalam Symposium oleh
karena kebiasaannya berdiri di beranda tetangga (175a-b) atau kegagalannya
menanggapi serangan Alcibiades (219b-d) atau kekebalannya terhadap anggur
(220a, dll). Ini adalah Socrates yang sama yang berdiam di Athena yang melawan
tindakan-tindakan illegal dan menolak melarikan diri dari penjara. Kejadian
cenderung bergerak mengelilinginya seperti melingkari pusat sebuah pusaran.
Figur yang tetap yakin dan tidak
goyah di tengah naik turunya kehidupan tampaknya seperti seseorang yang
mendasarkan hidupnya atas kepercayaan-kepercayaan yang luar biasa aman dan
kokoh. Pembaca Apology akan merasa
Socrates adalah orang semacam itu yang pada saat yang sama dihadapkan kepada
pengakuan Socrates sendiri yang merupakan satu-satunya cara agar
kebijaksanaannya melampaui yang lain dengan cara mengakui ketidaktahuannya.
Socrates yang diduga berada di “dialog-dialog awal” (seperti diduga juga di
akhir Theaetetus) sebenarnya adalah
orang yang membuat banyak senjang yang menganga di dalam pengetahuannya
sendiri. Penyelidikannya biasanya muncul keluar dari pengakuannya bahwa dia
tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tampak biasa, seperti
“Apa itu keberanian?”, “Apa itu retoris?”, atau “Dapatkah keutamaan
diajarakan?”. Pekerjaan semacam ini cenderung berakhir baik tanpa kesimpulan.
Atau, beberapa kesimpulan yang demikian tidak intuitif sehingga tidak dapat
menyakinkan siapa pun. Euthyphro adalah
contoh dari bentuk yang pertama, sedang yang kedua adalah Hippias Minor. Bagian tertentu di mana Socrates tampak begitu
terbuka mengajukan doktrinnya, seperti dalam Protagoras (345b0c), cenderung menjadi sangat menyerang ketika
ditampilkan. Itu membuatnya tidak tampak sebagai ekspresi kepercayaan yang
mengirim tantangan kepada siapa pun yang akan memilih untuk tidak percaya.
Socrates tidak pernah menempatkan dirinya sebagai otoritas atas segala hal yang
berkaitan dengan moralitas, dan tidak juga terhadap segala hal yang secara
tradisional diajarkan oleh para filsuf pra-Sokratik atau oleh para sofis.
Karena itu, dia tidak menempatkan dirinya sebagai ahli teknik investigasi atau
ahli dalam pengucilan kepercayaan-kepercayaan palsu karena keahlian semacam itu
dilekatkan di tangan penunjuk Apollo atau beberapa inspirasi lebih daripada
pengetahuan yang sistematis.
Tentu, para pembaca karya-karya yang
ada saat ini tidak akan mudah menerima bahwa Socrates bukan seorang ahli.
Socrates tampak seperti seorang ahli Elenchus dalam Euthyphro. Dia tampak menjadi pencerita bagi juri mengenai makna
keadilan dan tuntutan sumpah juri di dalam Apology,
sebuah kerja yang memintanya menyatakan penolakan untuk menjadi korban
tindakan-tindakan inkonstitusional, yang mungkin menggiringnya ke kematian yang
tidak adil. Dia kelihatan cukup pasti mengenai syarat-syarat keadilan dan
kepenuhan hukum di dalam Crito.
Keyakinannya mantap seperti orang yang jiwanya akan abadi dan beberapa teori
yang berkaitan dalam Phaedo. Karya
terakhir tersebut tidak bermasalah, sepanjang karya itu diakui sebagai karya
periode tengah, dan karenanya kurang ketat untuk Socrates yang menyejarah.
Namun, seseorang merasa bahwa Plato menulis sebagaian untuk menjelaskan
ketenangan penuh Socrates ketika menghadapi kematian. Bagi Plato, itu adalah
sebuah ketenangan yang didasari atas kepercayaan Socrates yang mendalam.
Ada berbagai cara yang mungkin dapat
diupayakan untuk menyesuaikan penolakan Socrates terhadap pengetahuan dengan
sikapnya yang penuh kepastian. Pertama, terdapat cara skeptis. Skeptis di masa
kuno, seperti banyak disebut orang bahwa Socrates pendahulunya menyakini bahwa
bentuk pemikiran yang tidak bermasalah paling baik dicapai dengan menghindari
kesimpulan. Secrates dapat dilihat sebagai skeptis yang sesungguhnya.
Ketenangannya menghadapi kematian adalah hasil suksesnya. Ini tidak membantu
menjelaskan ceramah kecilnya kepada juri dan kepada Crito. Lalu, muncullah
pendekatan kronologis. Apology dan Crito di buat diakhir hidup Socrates. Di
periode ini jugalah dia menyerukan penolakan-penolakan untuk bertindak di luar
hukum. Tidak ada gunanya menduga bahwa Socrates selalu memiliki keyakinan yang
dia tunjukkan di tahun-tahun terakhir kehidupannya. Hal yan paling berhasil
dari pengujiannya terhadap orang lain bisa jadi mempengaruhi dirinya sehingga
dia memiliki beberapa jawaban bagi dirinya sendiri. Namun, dalam Apology Socrates tidak menunjukkan
bahwa dia meninggalkan pengabaiannya atas pengetahuan. Bahkan, dalam sikapnya
yang paling kukuh, dia tetap berbicara tentang pikirannya atau yang tampak adil
bagi dirinya. Di atas segalanya, profesi ketidaktahuan tetap kuat di dalam Euthyphro. Kita bisa menurunkannya
sebagai produk dari ironi Socrates, tetapi
bukan fungsi dari ironi Sokratik untuk menunjukkan kebohongan. Ironi
akan lebih melibatkan pernyataan yang setengah benar, bermain secara misterius
dengan lawan bicara namun makna sesungguhnya tetap tersembunyi. Dengan begitu,
pendekatan kronologis hanya sedikit berhasil.
Kemungkinan lain adalah dengan
membedakan kerangka-kerangka yang diketahui dan tidak diketahui Socrates.
Sebagai contoh, dia mungkin memiliki sebentuk pengetahuan terbatas yang terbuka
bagi manusia, tetapi terhambat kepada kepenuhan pengetahuan sesuatu yang secara
tradisional disiapkan bagi para dewa. Jika ini merupakan pandangan Plato tentang
pengetahuan Sokratik, dia tentunya tidak membuatnya menjadi jelas. Pesan
Sokratik adalah manusia tidak memiliki pengetahuan tentang aspirasi manusia.
Euthyphro tidak akan meletakkan pemikirannya kepada suatu objek yang
diketahuinya dengan baik dengan ketepatan yang kurang lebih sama dengan Dewa
Zeus.
Aspek yang paling menghimpit dari
penolakan Socrates akan pengetahuan adalah fakta bahwa doktrinnya yang paling
mengemuka (saya lebih suka menyebutnya “tema”) bahwa keutamaan adalah
pengetahuan. Hasilnya menjadi: baik Socrates maupun orang lain yang dia kenal
tidak dapat menjadi yang utama tentunya kecuali jika pengetahuan tentang
ketidaktahuan seseorang dapat mencukupi kebutuhan utnuk melahirkan keutamaan.
Seperti juga pada yang lain, Socrates-nya Plato tidak mendorong kepercayaan
bahwa siapa pun dari mereka adalah yang utama menurut makna tetap dari
keutamaan. Namun, Plato ingin kita mempercayai bahwa Socrates adalah keutamaan
dalam kerangka yang penuh makna.
Tentunya, pertanyaan yang mencuat
kemudian adalah hakikat dari pengetahuan itu sendiri. Apa yang perlu diketahui?
Bagaimana seseorang menguji pengetahuan? Bagaimana seseorang mengenalinya? Oleh
karena pertanyaan ini begitu sentral, perlakuan Plato terhadap pertanyaan
tersebut tidak muncul dalam bentuk final sampai Theaetetus yang baru mencul di masa akhir karirnya. Di dalam Theaetetus, Socrates “tidak produktif
menciptakan kebijaksanaan”, dan “tidak memiliki sesuatu yang bijak” untuk
ditawarkan (150c). Namun demikian, dia memiliki keahlian luar biasa dalam
meyelidiki dan mengevaluasi ide-ide dari yang lain, dan di atas segalanya
membedakan yang benar dari yang salah (151b-d). Dia mengetahui Plato ingin
menyakinkan kita bukan sekadar ketidaktahuannya sendiri, tetapi juga apakah
orang lain tahu atau tidak tahu. Dengan pengetahuan ini, dia harus mampu
menyatakan semua proposisi yang diajukan oleh dewan bicara untuk diuji sebagai
yang salah atau yang benar. Dapatkah dia mengetahui sebuah proposisi benar
tanpa mengetahuinya? Jelas ini sama sekali tidak masuk akal. Mari kita mengejar
konsekuensi-konsekuensinya.
Jika orang lain dapat melahirkan
kepercayaan akan kebenaran rasional yang dibutuhkan sebagai basis pengetahuan
walaupun mereka tidak mampu mengujinya, Socrates memiliki kemampuan untuk
menguji kebenaran maupun kepalsuan mereka walaupun tidak memiliki kepercayaan
yang diperlukan. Di sini menjadi jelas bahwa proses penemuan menjadi tahu hanya
dapat terjadi ketika Socrates menguji kepercayaan orang lain. Ini harus muncul
melalui beberapa pertukaran dialektis antara Socrates dan para penganut
kepercayaan tersebut. Ini akan menjelaskan alasan pengabdian Plato kepada
metode perbincangan Socrates jauh lebih
besar daripada pengabdian kepada hal yang kita lihat sebagai doktrin Socrates.
Orang lain boleh memiliki kepercayaan yang benar, tetapi sayangnya bergemilang
dalam ketidaktahuan karena tidak memiliki sarana unuk mengidentifikasi
kebenaran. Socrates dapat membantu mereka, tetapi bergantung kepada kerja sama
yang mereka lakukan dalam menyediakan gagasan untuk pengujian.
Jika penilaian terhadap kontribusi
Socrates terhadap pengetahuan benar adanya, menjadi jelas mengapa dia berlaku
seperti tidak tahu, dia tetap bergantung kepada saran-saran dari yang lain.
Namun, mungkin jelas dia dapat menjadi
begitu percaya diri di sejumlah pertanyaan yang secara rutin diuji dengan para
ahli. Kesimpulan-kesimpulan yang lahir dari invetigasinya, baik benar atau
salah, adalah proposisi-proposisi yang telah diketahui dari pengalaman melewati
ujian. Meragukan hasil investigasi tidak akan menjadi keraguan terhadap
kemampuannya sendiri. Justru, malah menjadi keraguan terhadap kemurahatian dan
kebijakan dari kemuliaan, dari orang yang memberikannya kekuatan dan perintah
untuk menggunakan kekuatan tersebut. Itu kemudian menjadi kasus ketidaksalehan.
Socrates tidak dapat meragukan banyak penemuan dari pertanyaannya karena dia
tidak dapat meragukan karunia profetik yang melekat padanya dipertanyaan
tersebut. Kepercayaan dirinya sebagian merupakan produk inspirasi mulia yang
melekat padanya. Dia tidak memiliki kepercayaan diri yang sama di kekuatan
individu lain untuk menemukan kebenarannya sendiri melalui kekuatan kognitif
sederhananya.
Ini menjadi persoalan. Jelas bahwa
masa tersebut menyumbang kepercayaan diri di akhir hidup Socrates. Kepercayaan
diri itu bergantung kepada pengalamannya sebagai hasil upaya mempertanyakan.
Sekalipun demikian, kita harus sedikit melihat secara komparatif jika upaya itu
tidak untuk keterbukaan seperti yang diungkapkan Socrates di sebagian Apology, sebagaimana juga di dalam Crito dan Phaedo. Ini karena Socrates-nya Plato adalah pakar ironi, pakar
mistifikasi seperti yang dikatakan oleh Alcibiades: “Menghabiskan seluruh
hidupnya dengan memerankan ironi dan bermain-main dengan manusia”. Alcibiades
membandingkan eksternal Socrates, sesuatu yang bukan dan tidak harus
diperhatikan secara serius, dengan diri internal yang kehebatannya hanya
diungkapkan kepada mereka yang mengenalnya dari dekat. Hal ini memungkinkan
orang untuk melihat topeng Socrates yang tidak serius sebagai mekanisme
pertahanan, sesuatu yang cukup lama mencegah warga Athena menganggapnya sebagai
ancaman. Namun, keterlibatannya dalam huru-hara politik di periode 406-403 SM
telah memaksa dirinya untuk membuka tangan. Tanpa topeng tersebut, kecurigaan
publik terhadap aktivitasnya meningkat, memaksanya berbicara lebih datar. Euthyphro menggambarkan
kejadian-kejadian sebelum pengadilan, menunjukkan topeng yang hancur, dan juga
menunjukkan bagaimana mereka yang melihatnya sebagai teman dan sekutu dapat
berbalik memusuhinya. Apology menunjukkan
topeng itu dan dengan sengaja menyingkapnya. Crito dan Phaedo bahkan
menunjukkan topeng itu benar-benar telah lenyap.
Ada satu aspek lain di dalam Crito dan Phaedo yang relevan dengan konteks ini: Plato tampak dengan sengaja
menampilkan Socrates sebagai seorang manusia yang kekuatan visinya telah
mencapai puncak sejenak sebelum dia meninggal. Di dalam Crito, kekuatan penyelamat diasosiasikan dengan Apollo yang
beroperasi dengan pengaruh yang kuat atas Socrates. Dalam 44a-b, kita
diceritakan mengenai sebuah mimpi profetik yang di dalamnya muncul seorang
perempuan bergaun putih dan memberikan anjuran melalui kutipan Homerik bahwa
masih ada dua hari sebelum Socrates meninggal. Akhirnya, pada akhir kerja dari
suara Hukum Athena, yang memikat telinga seperti sirens, tampak dihargai
sebagai perlengkapan yang dipakai Apollo untuk membimbing Socrates menuju
kematiannya. Kita tidak bermaksud melihat hal ini sebagai ciri Socrates
sepenuhnya. Lebih dari itu, kita harus melihatnya sebagai karakteristik di
masa-masa akhirnya.
Phaedo
sebenarnya menyediakan teori yang mendukung gambaran mengenai seorang manusia
di batas kemuliaan pengetahuan. Socrates membandingkan dirinya dengan
angsa-angsa, sesama pelayanan Apollo, dewa masa depan, yang menurut
penjelasannya menyanyikan lagu-lagu angsa sebelum kematian. Lagu-lagu ini
dinyanyikan bukan tanpa kepedihan tetapi tanpa kesenangan untuk hal yang sudah
mereka tahu dan akan dihadapi. Socrates memiliki kekuatan pengelihatan yang
lebih sebagai efek dari waktu kematiannya yang semakin dekat. Begitu pula
dengan ironi elenkhos Sokratik yang terkenal telah memberikan jalan bagi sebuah
lagu baru dan tidak terkenal yang mencapai puncaknya dalam penjelasan visioner
tentang dunia mitos yang lebih tinggi dan lebih rendah. Kekuatan imajinasi
Socrates yang meningkat mungkin dijelaskan melalui teori bahwa filsuf menolak
kenikmatan dan rasa sakit dari tubuh, berjuang untuk memisahkan jiwa dengan
baik dari tubuh, memilih diri lepas dari tubuh sehingga kekuatan intelektual
dapat mencapai puncaknya. Kehalusan jiwa Socrates yang meninggalkan tubuhnya
setelah meminum racuk Hemlock bersaksi tentang kedektan kuat pada dunia ini,
dan pada kebenarannya yang telah dicapainya.
Selanjutnya, Crito dan Phaedo,
menggambarkan Socrates yang telah mencapai, saat mendekati kematian, kedekatan
maksimum yang paling mungkin ke kemuliaan pengetahuan tentang kebenaran dari
dunia lain. Tidaklah mengejutkan jika dia bicara dengan suara dan kepercayaan
diri yang aneh. Tidak mengejutkan bahwa Socrates memiliki kepercayaan mengenai
kematian adalah baik, akhir dari semua sensasi maupun permulaan dari sebuah
perjalanan yang baru telah berubah menjadi kepercayaan diri dalam perjalanan
yang baru. Itu berarti, bukan lagi kritik sosial Apollo yang berbicara, tetapi
suara Apollo yang berbicara melalui Socrates. Atau, Plato meminta kita percaya.
Komentar
Posting Komentar