Langsung ke konten utama

Polemik Film “The Santri”, “Ayat-Ayat Cinta”, dan Kristen Koptik


Beberapa minggu ini masyarakat di Indonesia sedang diributkan dengan akan tayangnya film “The Santri”. Film ini disutradarai oleh Livi Zheng dan film ini juga sudah mendapatkan dukungan serta persetujuan dari ketua PBNU KH. Said Aqiel Sirajd. Sebenarnya film ini masih akan tayang di bulan Oktober, tetapi saat ini sudah banyak kontroversi dari sebagian kalangan yang tidak menyetujui film tersebut. Pro dan kontra di media sosial semakin banyak. Ada yang mendukung penayangan film ini dan tidak sedikit pula yang menolak film tersebut. Penolakan film tersebut salah satunya dilatarbelakangi oleh beberapa hal seperti berikut:

1. Film ini tidak sesuai dan mencerminkan kehidupan santri yang sebenarnya
2. Disutradarai oleh non-Muslim atau istilah kerennya KAFIR
3. sutradara tidak tau kehidupan santri yang sebenarnya karena dia adalah non-Muslim
4. Selain itu, ada lontaran lain yang dikeluarkan oleh salah satu ustad, dia mengatakan bahwa tidak menyetujui juga penayangan film ini karena ada satu adegan santri yang masuk ke dalam rumah ibadah agama lain dan itu hukumnya HARAM.
5. Livi Zheng dikatakan telah menyesatkan awak media
6. Livi Zheng dikatakan pula tak tau tentang industri perfilman

Mungkin hal diatas adalah sebagian saja alasan dari penolakan terhadap film tersebut. Memang saya sendiri tidak tau bagaimana kehidupan santri di dalam pesantren karena saya tidak pernah menjadi seorang santri. Tapi terlepas dari hal itu, saya bisa menarik kesimpulan dari penolakan film tersebut hanya terletak pada SIAPA SUTRADARANYA? Menurut hemat saya, mungkin karena sutradara film tersebut adalah non-Muslim dan membuat film tentang SANTRI, yang banyak mendapatkan penolakan karena si pembuat film belum pernah menjadi “pelaku” seperti yang dikisahkan dalam film ini. 

Tapi bagaimana dengan film dan novel “Ayat-Ayat Cinta” yang dibuat oleh seorang sutradara Muslim Hanung Bramantyo dan penulis novelnya adalah seorang lulusan Universitas Al-Azhar Cairo Habiburahman el-Shirazy? Apakah sudah benar film dan novel tersebut menceritakan tentang budaya, adat istiadat dari Kristen Koptik yang dalam film tersebut diperankan oleh Carissa Putri sebagai Maria Girgis? 

Menurut saya, ada beberapa hal kesalahan dalam film dan novel tersebut khususnya mengenai kisah tentang Kristen Koptik yang diangkat oleh sang sutradara maupun penulis novel tersebut. Dibawah ini saya akan memaparkan analisis saya tentang kesalahan-kesalahan dalam film dan novel ini. 

SEKILAS FILM “AYAT-AYAT CINTA”

Maria Girgis (Carissa Putri), putri Tuan Butros dan Maddame Nafed bertetangga flat (apartemen) dengan Fahri, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universitas al-Azhar. Maria, terlahir dari keluarga Kristen Koptik, digambarkan mengagumi Al­-Qur'an, karena ayat-ayatnya yang dilantunkan indah, bersimpati pada Fahri. Simpati yang akhirnya berubah menjadi cinta. Sayang sekali, Maria tidak pernah mengutarakan perasaan hatinya. Ia hanya menuangkannya dalam catatan harian saja.

Selain Maria, ada juga Nurul (diperankan Melanie Putri), mahasiswi asal Indonesia, anak seorang kyai yang cukup kesohor, yang juga menimba ilmu di Al-Azhar. Sebenarnya Fahri menaruh hati kepadanya, tetapi sayang rasa cinta itu dihalangi oleh perasaan minder-nya, karena Fahri hanya anak seorang petani. Cinta yang akhirnya tak terucapkan. Ada juga tetangga yang selalu disiksa “ayahnya”, dan Fahri ingin menolongnya, tetapi justru itulah yang menjadi awal bencana baginya. Fahri harus beberapa saat mendekam di penjara, karena tuduhan fitnah telah memperkosanya. Saat badai fitnah menimpa, saat itu Fahri sudah menikah dengan Aisha, gadis Turki yang menjadi warga negara Jerman. Pendekatan diplomatik Indonesia buntu, gagal membebaskan Fahri.

Tetapi berkat kewarganegaraan Jerman yang dimiliki Aisha, pengadilan Mesir melunak. Fahri bebas, setelah dibuktikan bahwa tuduhan itu fitnah belaka. Sebenarnya Fahri hanya difitnah, kesaksian Noura palsu karena dinyatakan di bawah tekanan Bahadur, “ayah”­nya. Padahal Bahadur, yang ternyata bukan ayah kandungnya, justru dialah yang memerkosanya, bahkan ingin menjualnya menjadi seorang pelacur. Sementara itu, Maria yang sedang sakit, karena tekanan batin yang dideritanya karena Fahri telah menemukan “sungai Nil”-nya, yaitu sang tambatan hati, yang ternyata bukan dirinya. Tetapi berkat kegigihan Aisha, istri Fahri, Maria berhasil dihadirkan ke pengadilan. Kedatangannya menolong Fahri, karena ia menjadi saksi ketika Fahri dan Nurul menyembunyikan Noura di rumah Nurul, demi menyelamatkan Noura dari amukan Bahadur.

Justru Aisha sendiri, yang ketika Maria terbaring sakit, membaca “Diary”-nya: Ternyata Maria memendam rindu kepada Fahri, cinta yang dibawanya sampai ia berbaring sakit. Aisha pun terharu, dan akhirnya bersedia ”membagi cinta” dengan Maria. Suaminya justru disuruh mengawini Maria, karena itulah satu-satunya obat bagi kesembuhannya. Fahri dan Maria pun kawin atas restunya. Madamme Girgis, ibu Maria, sangat berterima kasih dengan pengorbanan Aisha. Madamme Girgis memeluk erat Aisha, ketika wanita keturunan Turki itu menghadiri akad nikah yang sedang berlangsung antara Fahri dan Maria yang lagi berbaring sakit, karena tidak bisa menahan gejolak jiwanya.

Beberapa menit terakhir film ini diisi dengan adegan kebersamaan antara Fahri dengan kedua istrinya. Ada cemburu antara kedua istri Fahri, tetapi keduanya berusaha keras “menjaga hati”. Sementara Fahri mempergumulkan makna keadilan bagi kedua istrinya. Aisha sedang hamil tua dan menunggu kelahiran bayinya, sementara Maria kembali jatuh sakit. “Ajarilah aku shalat”, ucap Maria kepada Fahri, “karena aku ingin shalat bersama kalian”. Fahri dan Aisha terkejut luar biasa. Dan dalam keadaan terbaring Maria shalat bersama Fahri dan Aisha, dan gadis Kristen Koptik itu menghembuskan nafas terakhirnya sebagai seorang muslimah.

SELAYANG  PANDANG TENTANG KRISTEN KOPTIK MESIR

Gereja Ortodoks Koptik adalah gereja pribumi Mesir, yang telah eksis sejak awal abad Kekristenan. Sejarah gereja ini dimulai dari kedatangan St. Markus Sang Rasul, murid Rasul Petrus sekaligus sebagai penerjemahnya, yang juga dikenal sebagai penulis Injil Markus. St. Markus mati syahid di Alexandria tahun 54 M, dan sejak saat itu Kekristenan berkembang pesat di “Negeri Firaun” itu.

Berbeda dengan gereja-gereja di wilayah Arab utara, khususnya Gereja Ortodoks Syria, yang sejak sebelum zaman Islam sudah menggunakan bahasa Arab, terbukti dari temuan-temuan prasasti pra-Islam di wilayah Syria (Inskripsi Zabad tahun 512 M, Inskripsi Ummul Jimmal para abad VI M, dan inskripsi Hurran al-Lajja tahun 568 M), Gereja Koptik mula-mula memakai bahasa Koptik. Namun setelah kedatangan Islam, Gereja Ortodoks Koptik di Mesir mulai memakai bahasa Arab, berdampingan dengan bahasa Koptik. Bahasa Koptik adalah bahasa sejak zaman Firaun, tetapi aksara-aksaranya diperbarui dengan meminjam aksara Yunani.

Perlu dicatat pula, di seluruh gereja Timur, termasuk Gereja Ortodoks Koptik, masih dilestarikan tata-cara ibadah dalam penghayatan budaya Kristen mula­mula. Misalnya: السبع صلوات “As-Sab'u Shalawāt” (Shalat Tujuh Waktu), صوم الكبير “Shaum al-Kabīr” (Puasa Agung) pra-Paskah, membaca Injil dengan cara dilantunkan secara tartil (dikenal dengan الملحمة الانجيل “al-Mulahanat al-Anajil” ( Mulahan Injil-injil ), yang paralel dengan تلاوة القران“Tilāwat al-Qur'an”, dan masih banyak lagi. Berbeda dengan Injil-injil yang bacaannya disebut ملاجنت “Mulahanat”, untuk pembacaan mazmur-mazmur disebut تلاوة المجمير “Tilāwat al-Mazamir”, dan masih banyak lagi paralel yang bisa dicontohkan.

Dalam kehidupan sehari-hari di Mesir, Anda bisa menyaksikan seorang pemuda yang komat­kamit membaca kitab kecil di tangannya sewaktu naik bus atau kereta api. Siapakah mereka? Ternyata bukan pemuda Islam yang sedang membaca al-Qur'an, melainkan seorang pemuda Koptik dengan tatto salib di tangannya yang sedang baca كتاب الاجبيه “Kitāb al-Ajabiah” (dialek Cairo: “Kitāb el-Agbeya” ), yaitu السبع صلوات البلية و النهارية “As-Sab'u Shalawāt al-Lailiyyat wa al-Nahāriyyat” (Shalat Tujuh Waktu dari malam sampai siang), yang tidak pernah mereka lupakan, juga ketika mereka sedang berkendara di jalan, sepulang kantor, atau berangkat ke kampus.

Patut dicatat pula, meskipun orang Muslim atau orang Kristen di Mesir sama-sama berbahasa Arab, tetapi “bahasa teologis” antara keduanya tetap bisa dengan mudah dibedakan. Idiom-idiom keagamaan mereka berbeda, tetapi juga tidak jarang pula sama atau paralel. Di koran-koran berbahasa Arab, ucapan bela sungkawa orang Kristen biasanya diawali dengan ungkapan: انتقال الي الامجاد السماوويه “Intiqāla ila al-Amjād as-Samāwiya” (Telah kembali kepada kemuliaan surgawi), mudah dibedakan dengan kaum Muslim yang membaca: إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ “Inna Iillahi wa Inna Ilayhi rāji’ûn” (Sesungguhnya semua karena Allah dan kepada-Nya pula semua akan kembali). Tetapi banyak persamaan dalam budaya, misalnya tradisi pertunangan, perkawinan, kematian, dan masih banyak lagi.

RESENSI NOVEL DAN FILM “AYAT-AYAT CINTA” 

Untuk tidak berpretensi bisa atau mampu dalam meresensi sebuah novel, apalagi sebuah film, saya hanya memberikan catatan atas beberapa tradisi Mesir pada umumnya, dan tradisi Kristen Koptik di Mesir khususnya, yang kurang dipahami oleh penulis novel ini sehingga sering tidak menggambarkan kehidupan Kristen yang sebenarnya dalam film ini. 

Adat-Istiadat, Bahasa dan Budaya

Beberapa tokoh dalam film ini gagal memerankan tokoh orang Mesir. Madamme Nafed (Marini), mamanya Maria, kala mengucapkan kata بسرعة “bisur'ah” (cepat!), tampak kurang ekspresif. Alangkah lebih “Egypt” nuansanya, bila ia berkata dengan penekanan يلا يلا بسرعة يا مريا “Yala, yala, bisur'ah, Ya Maria!”, misalnya. Begitu juga, sebagai sosok gadis Mesir, Maria yang diperankan Carissa Putri, rasanya terlalu calm dan “melankolis”. Ketika ia mengucapkan عَفْوًا “Afwan” (terima kasih kembali), menjawab kata-kata Fahri ketika menerima kiriman juice mangga yang dikirim Maria melalui tarikan keranjang kecil dari jendela kamarnya: مُتَشَكِّرِيْن قَوِي على عصير منجو “Musyakirin awi’ ala ashir manggo” (Terima kasih banyak atas juice mangga). Dalam dialek Arab Mesir, aksara “q” sering dibaca “a”. Lebih ekspresif, seandainya Maria mengatakan: عَفْوًا,عَفْوًا يا حبيبي “Afwan, Afwan, Ya Habibī!”.
Malahan dalam suatu pesta perkawinan yang digambarkan dalam film tersebut, tidak ada bunyi jagreed (siulan ibu-ibu yang menandai penyambutan acara-acara kegembiraan mereka). Yang juga tidak kalah penting untuk dicermati, dialek Arab tokoh Maria ketika bertanya: قاموس عربي “Qāmûs 'Arabī?”, diucapkan: “Qomus 'Arabi?” (kamus bahasa Arab?), suatu dialek yang terlalu “Saudi”. Ini salah satu kekhasan mahasiswa Islam asal Indonesia, karena ketika belajar bahasa Arab di pesantren, lebih mirip dialek Saudi Arabia yang memang lebih فصحى “fushha” (klasik). Tetapi tidak demikian dengan dialek Mesir, misalnya mereka mengucapkan beberapa kata, seperti: صبرى “shubra”, مبرك “mubarak”, رحمة “rahmat”, yang diucapkan dengan dialek Saudi: “subhro”, “mubarok”, “rohmat”, yang sudah tentu tampak asing di telinga orang Mesir.

Begitu juga, ungkapan salah seorang Mesir ketika melerai pertengkaran: خلاص, خلاص “Khalash! Khalash!” (sudah, sudah!), lebih “Mesir” lagi kalau diucapkan: جلاص. جلاص بعه “Khalash, khalash ba'ah!”. Begitu juga, biasanya seorang Mesir mengucapkan kata “La, la, la” (Tidak, Tidak, Tidak!), sambil dengan jari terlunjuk bergerak-gerak, dan bibir berdecak. Ucapan أهلا “Ahlan”, biasanya diucapkan berkali-kali: أهلا, أهلا, أهلا “Ahlan, Ahlan, Ahlan ...” Dan lebih mengganggu lagi, dialek Mesir sering bercampur dengan bahasa Arab klasik: علشان انَا بَحِبَّك قوي, yang lazimnya diucapkan “Alasyan ana baḥibak (baḥibik) awi”, dan bukan “Asyan ana baḥibaki awi” (Karena aku sangat mencintai kamu), mestinya: علشان انَا بَحِبَّك قوي “Asyan ana baḥibik awi”. “Asyan” adalah ucapan cepat dari علشان “alasyan” (karena, sebab), sedangkan “Ana baḥibak” (Aku mencintai kamu/laki-laki), انا بحبك “Ana baḥibik” (Aku mencintai kamu/perempuan), yang dalam bentuk bahasa Arab klasik: انا احبكَ “Ana uḥibuka” (Aku mencintai kamu/laki-laki), انا احبكِ “Ana uḥibuki” (Aku mencintai kamu/perempuan).

Lokasi syuting yang memang tidak dibuat di Mesir, membuat pemirsa tidak bisa secara utuh mengikuti dan membayangkan “suasana Mesir”. Mulai rumah-rumah warga kelas menengah ke atas, lengkap dengan “mashrabiya”-nya, jalan-jalan kota lama Cairo yang macet, tidak terkecuali ميدان التحرير“Midān Tahrir” (Alun-alun Kemerdekaan) dengan kedai-kedai juice segarnya. Malahan, dalam suatu pesta perkawinan yang digambarkan dalam film tersebut, tidak ada bunyi “jagreed” (suatu bunyi siulan ibu-­ibu yang menandai penyambutan acara-acara kegembiraan mereka). Masih banyak adat kebiasaan lain, yang dalam film ini tidak berhasil ditonjolkan dengan baik, sehingga lebih mirip “suasana Indonesia” atau “suasana India”, ketimbang “suasana Mesir” atau negara-negara Arab di Timur Tengah pada umumnya.

Tradisi Kristen Koptik

Ada kesan kuat saya, bahwa penulis novel ini, sekalipun lama tinggal di Mesir, namun tidak mengetahui budaya dan tradisi Kristen Koptik. Misalnya, penggambaran Maria yang tertarik dengan Al-Qur’an karena ayat-ayat­nya di-“tilawat”-kan dengan indah. Padahal tradisi untuk membaca Kitab Suci dengan tartil bukan hanya tradisi Islam, melainkan tradisi Timur Tengah (baik Yahudi maupun Kristen Timur) jauh sebelum lahirnya Islam. Sampai hari ini, gereja-gereja Timur (baik gereja-gereja Ortodoks maupun gereja-gereja Katolik ritus Timur) membaca Kitab Suci dengan cara yang tidak jauh berbeda.

Simbol salib hanya ditonjolkan untuk mengisi latar belakang Koptik keluarga Maria, tetapi tradisi Koptik sama sekali tidak dipahaminya. Misalnya; Madamme Girgis digambarkan berdoa dengan melipat ke­dua tangan, padahal orang-orang Kristen di Timur Tengah berdoa dengan cara menengadahkan tangan, sama dengan Islam. Bedanya, dalam Islam diawali dengan ru­musan Basmalah:
سْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
"Bismillāh ar-raḥmān ar-raḥīm' (Dengan Nama Allah Yang Pengasih dan Penyayang), sedangkan di gereja-gereja berbahasa Arab diawali: بِاسْمِ الآبِ وَالاِبْنِ وَالرُّوحِ الْقُدُسِ, الإلهِ الْوَاحِد, امين "Bism al-Abi wa al-Ibni wa ar-Rūḥ al-Qudus, Al-Ilāh al-Wāḥid, Amin" (Dengan Nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Allah Yang Maha Esa, Amin).

Masih ada hal yang sangat menganggu, yaitu tattoo Salib di tangan Maria terbalik, dan terlalu besar ukurannya. Dan terakhir, permintaan Maria kepada Fahri ketika ia terbaring sakit: “Ajarilah aku shalat!”, mestinya lebih baik diperjelas : “Ajarilah aku shalat secara Islam!”. Mengapa ? Sebab kata صلاة “shalāt” saja, di Mesir dan di negara-negara Arab yang di dalamnya umat Islam dan Kristen hidup bersama-sama, bukan merupakan terma eksklusif Islami. Jadi berbeda sekali dengan negara-negara Muslim non-Arab.

Orang-orang Kristen Koptik, seperti juga seluruh gereja Timur lainnya, mengenal­ waktu-waktu shalat yang tujuh kali sehari. Waktunya sama dengan shalat Islam, ditambah dengan صلاة ااساعة التالثة “Shalāt al-Sā'at al-tsālitsah" (Shalat jam ketiga), kira-kira jam 09.00 pagi yang khusus untuk memperingati turunnya Roh Kudus, Kis. 2:15), dan shalat jam 24.00 tengah malam, yang dikenal dengan صلاة نصف تلبل "Shalāt Nishfu Lail" (Shalat tengah malam). Sedangkan lima waktu shalat selebihnya untuk mengenal طريق الالام "Tharīq al-Al al-Alām" (Via Dolorosa) atau jam-jam sengsara Kristus.

Lebih jelasnya, kala صلاة "shalāt", jauh sebelum zaman Islam sudah dipakai dalam bentuk Syro-Aramaik ܨܠܽܘܬ݂ܳܐ "shlotā". Menariknya, waktu-waktunya memang sama dengan Islam (Arab: الصُّبْحِ  "Al-Shubh", الظُّهْرِ "Al-Dhuhr", العَصْرِ "Al-'Ashar", المَغْرِبِ, "Al-Maghrib" dan العِشَاءِ "Al-'Isya"), dan dua sisanya sejajar dengan shalat  الضُّحَى "al-Dhuha" dan  التّهَجُّدِ "Al-Tahajjud" (termasuk sembahyang sunnah). Meskipun demikian, istilah untuk waktu-waktu salat tersebut berbeda, dan waktu-waktu doa kanonik ini dalam Iman Kristen mempunyai makna teologis yang terkait dengan jam-jam sengsara Kristus, yaitu:

1. Shalat jam pertama atau Shalat waktu bangun (Arab: صلاة ااساعة الاول  Shalāt al-Sā'at al-Awwal" atau صلاة باكر "Shalāt Bākir"), kira-kira jam 06.00 pagi waktu kita, untuk mengenang saat kebangkitan Kristus Isa Al-Masih) dari antara orang mati (Mrk.16:2).

2. “Shalat jam ketiga (Arab: صلاة ااساعة التالثة Shalāt al-Sā'at al-tsālitsat"), kira-kira jam 9 pagi, yaitu waktu pengadilan Kristus dan turunnya Roh Kudus (Mrk. 15:25; Kis. 2:15).

3. Salat jam keenam (Arab: صلاة ااساعة السا دية "Shalāt al-Sā'at al-Sādisat"), kira-kira jam 12 siang, yaitu waktu penyaliban Kristus (Mrk. 15:33, Kis. 3:30).

4. “Salat jam kesembilan” (Arab: صلاة الساعة التاسعة "Shalāt al-Sā'at al-Tāsi'at"), kira-kira jam 3 petang, untuk mengenang kematian Kristus (Mrk. 15:33,38; Kis. 3:1);

5. Shalat Terbenamnya Matahari” (Arab: صلاة الغروب "Shalāt al-Ghurûb"), yaitu shalat untuk mengenang waktu penguburan jasad Kristus (Mrk.15:42).

6. Shalat Naum (Arab: صلاة النوم "Shalāt al-Naum"), untuk mengenang terbaringnya tubuh Kristus (Mat. 28:57; Mrk.15:42; Luk. 23:54; Yoh. 19:42).

7. Shalat Tengah Malam atau Shalat Satar (Arab: صلاة نصف الليل "Shalāt Nishfu al-Layl" atau صلاة الستار "Shalāt al-Satār"), adalah shalat jam berjaga-jaga untuk menyambut kedatangan Kristus yang kedua، seperti pencuri pada waktu malam (Why. 3:3). 

Salat Tujuh waktu ini, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam). Karena praktek sembahyang ini, khususnya seperti yang dipelihara di biara-biara, sudah ada jauh sebelum zaman Islam. “Kanonisasi waktu-waktu salat” (Arab: صلاة الفرضية "Shalāt al­-Fardhiyah"), sudah mulai dilakukan dalam sebuah doku­men gereja kuno berjudul الدسقولية "Al-Dasqûliyat" atau تعاليم الرسل "Ta’ālīm ar-Rusul" yang editing terdininya dikerjakan oleh St. Hypolitus, kira-kira pada tahun 215 M.10)

Novel Religi, Film Dakwah: Bukan Film Cinta Biasa

Seperti komentar banyak tokoh dalam novel “Ayat-ayat Cinta”, memang hasil karya Habiburrahman el-Shirazy ini bukan sekedar novel cinta biasa, melainkan novel cinta, religi, figh, politik yang sarat dengan pesan-pesan keagamaan. Novel ini ingin menghadirkan Islam secara damai, multi-kultural, sarat sentuhan nilai cinta kasih, dan jauh dari gambaran kekerasan yang selama ini sering distigmakan oleh orang Barat.

Meskipun demikian, novel ini juga sarat terhadap apologetika untuk membela Islam. Semangat dakwah yang berkobar-kobar perlu diacungi jempol, tetapi ter­kadang “kelewat batas”. Misalnya, dalam Bab 33: “Nya­nyian dari Surga” (tetapi bagian ini untungnya tidak divisualisasikan dalam film), Maria bertemu dengan Bunda Maria, Ibunda Isa Al-Masih dalam mimpinya ketika terbaring sakit. Pada باب الرحمة  "Bāb ar-Rahmah" (pintu Rah­mat), Bunda Kristus itu, menampakkan diri begitu ang­gun dan luar biasa. “Dia (Allah) mendengar haru biru tangismu”, kata Bunda Maria, “Apa maumu?”. “Aku ingin masuk surga. Bolehkah?”, tanya Maria sambil menangis.

“Boleh”, jawab Bunda Maria. “Memang surga diperuntukkan untuk semua hamba-Nya. Tapi kau harus tahu kuncinya”. “Apa kuncinya?”, tanya Maria. “Nabi pilihan Muhammad Saw telah mengajarkannya berulang-ulang. Apakah kau tidak mengetahuinya?”, tegas Bunda Maria. “Aku tidak mengikuti ajarannya”, kata Maria. “Itu salahmu!”, kata Bunda Maria lagi. Lalu dijelaskan bahwa jalan ke surga itu harus lewat Islam.

“Maria, dengarlah baik-baik!”, kata Bunda Kristus kepadanya. “Nabi Muhammad sudah mengajarkan kunci untuk masuk surga, “Barangsiapa berwudhu dengan baik lalu mengucapkan: اشهد ان لا اله الا الله و اشهد ان محمدا عبده ورسوله "Asyhadu ‘an La ilaha illallah wa asyhadu anna Muhamadan ‘abduhu wa rasuluh" (Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah Hamba-Nya dan Rasul-Nya), maka akan dibukakan delapan pintu surga untuknya dan ia boleh masuk yang mana ia suka.” Maria pun akhirnya masuk Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat dan me­laksanakan shalat sebelum ajal menjemputnya. Inilah “ending” novel dan film dakwah ini.

CATATAN AKHIR

Kita boleh saya menolak film “The Santri” karena alasan-alasan seperti yang sudah saya jelaskan diawal tulisan ini, tapi alangkah bijaknya jika ada seorang sutradara dan novelis Islam yang mencoba menulis dan menceritakan tentang agama lain itu harus juga benar sesuai fakta yang sebenarnya. Supaya hal ini tidak menjadi sebuah “gesekan” antara kedua agama ini. Bolehlah kita menolak film “The Santri” karena disutradarai oleh non-Muslim, tapi disaat pembuat film dari Muslim membuat cerita tentang agama lain, ya harus benar juga supaya hal tersebut tidak menyakiti saudara kita umat lain. 

REFERENSI

1. Habiburrahman EI Shirazy, Ayat-ayat Cinta: Edisi Revisi (Jakarta: Basmala dan Harian Republika, 2006).

2. Nama جورجس "Jurjis" (dialek Mesir: dibaca "Girgis" (Arabisasi dari nama George, seorang القديس "al-Qidis" (Santo) yang sangat populer di gereja-gereja kuno, seperti بطرس "Buthros" (Arabisasi dari Petrus), dan nama-nama lain dari bahasa Yunani, Ibrani atau Koptik. Umat Kristen-Arab juga memakai nama-nama Arab sebelum dan sesudah Islam. Biasanya, nama-nama Kristen-Arab, misalnya: عبد تلمسيح "Abd al-Masih" (Hamba Kristus), عبد الفصى "Abd al-Fadhi" (Hamba Sang Penebus), yang mudah dibedakan dengan nama-nama Arab-Muslim: عبد العزيز "Abd al-Aziz" (Hamba Sang Maha Kuat), رمضان "Ramadhan", مَحْمُود "Mahmud", احمد "Ahmad", أشرف "Ašraf", dan sebagainya. Tetapi nama-nama seperti عبد الله "Abdullah" (Hamba Allah), إِبْراهِيمُ "Ibrahim", إِسْحاقَ "Ishak", يَعْقُوبَ "Ya'qub", مؤمن "Mukmin", dan masih banyak lagi, adalah nama-nama netral yang dipakai baik orang Kristen maupun Islam 

3. Irish Habib al-Masri, Qishah Al-Kanīsat al-Qibthiyyah. Vol. 1 (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), hlm. 20-33. A. Wessels, Arab and Christian? (Kampen: Kok Pharos, 1995), him. 126.

4. Lihat: Al-Ajabiyya: As-Sab'u Shalāwat An-Nahariyyah wa al-Lailiyyat (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2001).

5. Yoanis Kamal, Tartīb Ushbu' al-Alam (Cairo: Dār al-Jilli ath-Thaba'ah, 2001).

6. Munculnya tradisi "tattoo" salib di tangan, pertama kali berasal dari masa penganiayaan. Tanda itu menjadi semacam kode sesama umat Kristen demi keselamatan mereka dari para penganiaya mereka. Karena Gereja Koptik Mesir pada zaman Romawi menjadi gereja yang teraniaya, maka tarikh Koptik yang ditandai dengan peredaran bintang Siriuz, disebut dengan ANNO MARTYRI (Tahun Kesyahidan), yang tidak termasuk السنة الشمسية "al-Sanat al-Syamsiyyah" (Tahun Matahari) ataupun السنة القمرية "al-Sanat al-Qamariyyah" (Tahun Bulan), melainkan السنة كواكبية "al-Sanat al-Kawakibiyyah" (Tahun Bintang). 

7. Kalimat ..مُتَشَكِّرِيْن قَوِي على "musyakirin awi....", adalah dialek khas Mesir, kata "awi" asalnya dari قَوِي "qa­wwī" (besar) dalam bahasa Arab klasik: شُكْرًا على "Syukrān 'ala.." (Terima kasih atas...), atau الف شكر على"Alf syukr 'ala ..." (beribu terima kasih atas...) 

8.. Mashrabia" (Arab: مصرابية) adalah jendela kecil yang terbuat dari kayu dan dihias dengan ukiran halus, biasanya digunakan oleh anak-anak gadis orang kaya untuk mengintip keluar, tetapi orang tidak bisa melihat ke dalam. 

9. Fakta bahwa seluruh gereja-gereja di Timur, baik Ortodoks maupun Katolik ritus Timur. melaksanakan salat tujuh waktu baik sebelum maupun sesudah Islam dengan jelas dicatat Aziz S. Atiya, History of Eastern Christianity (Nostre Dome. Indiana: University of Nostre Dame Press, t.t.). Demikianlah catalan Aziz S. Atiya mengenai pelestarian ibadah ini pada tiap-tiap gereja: Gereja Orthodoks Koptik: "These seven hours consisted of the Morning prayer, Terce, Sext, None, Vespers, Compline and the Midnight prayer..." (hlm. 128). Mengenai Gereja Orthodoks Syria: "...keep usual hours from Matins to Compline, with they describe as the "protection prayer" (Suttara) before retiring" (hlm. 124). Se­dangkan Gereja Maronit di Lebanon: "Seven in number, they are the Night Office, Matins, Third, Sixth and Nine Hours, Verpers and Compline" (hlm. 414). Lebih lanjut. mengenai Shalat Tujuh Waktu ini dalam bahasa Arab. lihat: Mār Ignatius Afram I Borshaum (ed.), Al-Tuḥfat al-Ruḥiyyat fī ash-Shalāt al-Fardhiyyah (Aleppo: Dār al-Raha Ii an-Nasyr, 1990). 

10. Marqus Dawud (ed.), Al-Dasqûliyat, ay Ta’ālīm ar-Rusul" (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), hlm. 171-172. 

11. Bambang Noorsena, "Ramadhan di Cairo", dimuat harian Post, 20 Agustus 2004.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socrates dan Daimonion-nya

Apa yang membuat Socrates konsisten melakoni urip in pepadhang sehingga berani melawan cara berpolitik polis yang ia taati? Socrates sangat setia dengan hukum polis sehingga meski tahu bahwa ia bisa melarikan diri dari hukuman tidak adil yang dijatuhkan padanya, toh ia menolak tawaran melarikan diri dari kawan-kawannya ( Kriton, 48a-54a). Di dalam buku Apologia Socrates sendiri menjelaskan bahwa hidupnya hanyalah mengikuti bisikan daimonion -nya. Dalam tulisan pada Apologia terjemahan dari Ioanes Rakhmat ( Apologia 31c-e), Socrates mengatakan demikian: "Tapi alasan aku mengapa demikian sudah kukemukakan (d) dibanyak tempat dan kalian sudah sering mendengarnya: bahwa aku kerap didatangi suatu suara ilahi (theion) atau suara daimonion tertentu, sesuatu yang disinggung dan dicemooh oleh Meletus dalam dakwaannya. Ini sudah terjadi sejak aku kanak-kanak: semacam suara yang datang, dan yang senantiasa, ketika mendatangiku, mencegahku melakukan sesuatu yang mau aku lakukan, namun

Simbol Phobia

Oleh: Taufik Hidayat Sejak lahirnya Islam yang di bawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, simbol-simbol keagamaan, budaya, dan bahasa sudah tidak asing lagi di kalangan bangsa arab. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu Muhammad dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan agama lain, seperti hal nya Yahudi dan Nasrani. Tetapi pada waktu itu, Muhammad dan para sahabat tidak phobia akan simbol-simbol tersebut, karena beliau tau bahwa simbol itu bagian dari identitas agama tertentu yang memang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini sebenarnya hanya dimiliki oleh agama Semitik yang memang adalah suatu agama yang lahir dari satu keturunan, yaitu Ibrahim. Melalui Ibrahim lahirlah dua sosok manusia yang menjadi lambang lahirnya peradaban agama Semitik hingga saat ini. Misalnya Ismail putra Hajar, dia adalah lambang dari lahirnya peradaban Islam, bagitupun Ishaq putra Sarah, dia adalah lambang lahirnya peradaban Yahudi dan Nasrani melalui keturunannya.  Dari sejar

Gnothi Sauton Nietzche

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah memaparkan pokok penting dari filsafat Nietzche yaitu, "Keulangkembalian abadi dari yang sama" (Die ewige Winderkehr des Gleichen). Keulangkembalian abadi dari yang sama ini membahas tentang bagaimana manusia harus berani menanggung apa yang tidak dapat diubah, melainkan juga harus mencintainya atau dengan istilah lain disebut sebagai Amor Fati .  Nietzche dalam filsafatnya juga berbicara  tentang "Gnothi Sauton" atau "Kenalilah Dirimu Sendiri" . Sebenarnya Gnothi Sauton  yang di kemukakan oleh Nietzche ini adalah salah satu pepatah dari Yunani kuno yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi Gnothi Seauton (kadang ditulis Gnothi Sauton, artinya kenalilah dirimu sendiri ). Apa yang menjadi maksud dari kenalilah dirimu sendiri ini? Bagi orang Yunani sendiri, tulisan ini memiliki makna yang religius. Dalam arti bahwa manusia diingatkan bahwa dirinya adalah manusia saat ia mau berkonsultasi pada dewa Apollo lewat